Selasa, 31 Maret 2009

Pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam Meningkatkan Kinerja Anggota DPRD di Kabupaten Rokan Hulu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis (1) pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam Meningkatkan Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Rokan Hulu; (2) faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam Meningkatkan Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Rokan Hulu.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota DPRD Kabupaten Rokan Hulu yang berjumlah 35 orang. Mengingat jumlah populasi dalam penelitian ini relatif sedikit, maka teknik pengambilan sampelnya adalah dengan sampling jenuh atau sensus. Metode untuk mengungkap data ialah dengan metode wawancara dan angket (kuesioner).
Berdasarkan hasil penelitian tentang pelaksanaan tata tertib dprd dalam meningkatkan kinerja Anggota DPRD di Kabupaten Rokan Hulu, maka dapat dapat dikategorikan baik, yang dinyatakan dengan rata-rata 14 responden atau 39,81 %, sedangkan 12 responden atau 34,28 % menyatakan cukup baik, dan 9 responden atau 25,91 % menyatakan kurang baik. Dengan demikian pada dasarnya pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam meningkatkan kinerja anggota DPRD di Kabupaten Rokan Hulu adalah baik. Sedangkan hambatan-hambatan pelaksanaan tata tertib DPRD dalam meningkatkan kinerja Anggota DPRD di Kabupaten Rokan Hulu adalah: (1) Kabupaten Rokan Hulu merupakan kabupaten yang berdiri pada tahun 1999, sehingga optimalisasi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan masih perlu pembenahan pada berbagai sector termasuk didalamnya berkaitan dengan kualitas sumber daya manusianya; (2) Kualitas sumber daya manusia (anggota DPRD) dalam upaya pemahaman hakekat pelaksanaan tata tertib DPRD masih terlalu rendah; (3) Masih terdapat sikap kurang simpatik berkaitan dengan kesadaran dari para anggota DPRD yang berhubungan dengan pelaksanaan tata tertib DPRD; (4) Etika atau norma sebagai pengejawantahan Good Governance dan dasar pelaksanaan tata tertib DPRD oleh anggota DPRD belum dilaksanakan dengan sepenuhnya.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kinerja para pejabat negara dan anggota lembaga negara juga dipandang masih rendah, dan ini telah menjadi perbincangan luas dikalangan masyarakat. Sebagai contoh adalah berkaitan dengan sikap, perilaku dan disiplin masuk awal pada jam kantor masih belum optimal, belum diterapkannya system reward dan punishment, pelaksanaan perundang-undangan belum menggunakan pedoman terukur dan pengawasan belum dilakukan secara optimal.
Tak dapat dipungkiri keadaan seperti itu adalah akibat dari praktek penyelenggaraan pemerintahan di masa lalu yang tidak baik (Bad Governance), dan andaikata mau melakukan perubahan ke arah penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance), maka dengan sendirinya akan mewariskan hal-hal yang positif bagi generasi mendatang.
Lebih lanjut disebutkan, bahwa urgensi pemberdayaan anggota DPRD menjadi sangat relevan, sejalan dengan semangat reformasi dan otonomi daerah dimana ditegaskan bahwa: “Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah”.
Dari berbagai kekurangan dalam penyelenggaraan pemerintahan itu, secara utuh dan menyeluruh, maka kebutuhan untuk perubahan akan kemajuan yang lebih baik mutlak dilaksanakan. Tata tertib atau kode etik anggota DPRD hendaknya menjadi tolok ukur dalam mengembang tugas sekaligus menjadi ruh dalam setiap pelaksanaannya. Tentunya tata tertib atau kode etik ini mengandung komitmen untuk melaksanakan aturan main serta praktek penyelenggaraan pemerintahan secara sehat dan beretika. Tata tertib sendiri memiliki arti sebagai norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan sikap dan perilaku. Sementara kegunaan tata tertib pada prinsipnya adalah sebagai acuan, landasan dan batasan yang sifatnya mengikat baik ke dalam maupun keluar terhadap segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan organisasi. Disamping itu, tata tertib atau kode etik tujuan dan kegunaannya ialah untuk menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas anggota DPRD.
Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan Eksekutif Daerah meliputi Kepala Daerah dibantu oleh seorang Wakil kepala Daerah (pasal 60). Sedangkan Badan Legislatif Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan alat-alat kelengkapannya yang terdiri dari unsur pimpinan, komisi-komisi serta panitia-panitia (pasal 17 ayat 2).
Sejalan dengan itu berdasarkan pada TAP MPR No. IV/1999 tentang visi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara disebutkan bahwa “ Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis berkeadilan … memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin”. Penggalan kalimat dari bunyi TAP MPR tersebut bahwa yang dibangun bukan hanya system penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tetapi juga membangun masyarakat yang berdaya (empowered) serta menjunjung tinggi nilai-nilai dan peraturan yang berlaku.
Penyelenggaraan pemerintahan menurut UU No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 (2) adalah penyelenggaraan negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta perbuatan tercela. Asas umum penyelenggaraan pemerintahan adalah :
a. Menjunjung tinggi nilai kesusilaan
b. Kepatuhan terhadap norma hukum
c. Bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
DPRD Rokan Hulu merupakan instansi/lembaga dari penyelenggara pemerintahan atau tempat berlangsungnya kegiatan administrasi pelayanan publik, sedangkan tata tertib atau kode etik yang dimiliki merupakan manajemen peraturan yang diberlakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Disamping itu sebagai lembaga pembuat keputusan dalam pencapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh rasional konkrit dari tujuan perubahan tersebut.
Tugas pokok DPRD Rokan Hulu diantaranya membentuk peraturan daerah, menetapkan APBD, serta melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Sedangkan fungsinya ialah sebagai legislasi, anggaran dan pengawasan.
Sebagai bagian dari lingkungan penyelenggara negara yang sedemikian luas maka sudah sewajarnya menerapkan berbagai peraturan atau tata tertib (kode etik) yang telah ditetapkan. Dengan demikian pelaksanaan tata tertib tersebut perlu dikemas dalam garis lurus sejajar dengan tujuan yang hendak dicapai (purpose and goals). Kunci utama menuju keberhasilan pelaksanaan tata tertib itu adalah adanya perubahan perilaku mental dan skill yang sesuai juga memadai. Yang paling mendasar dalam pelaksanaan tata tertib adalah masalah pengembangan sumber daya manusia. Dengan pendekatan personal tersebut, maka diharapkan pelaksanaan tata tertib yang telah ditetapkan dengan baik akan membawa kepada dampak perubahan yang positif, serta sesuai dengan tujuannya.
Menyikapi perubahan kearah terbentuknya/terciptanya kinerja anggota lembaga negara yang baik tersebut, maka DPRD Rokan Hulu telah melakukan penataan pada tiap sub unit kerja mulai dilakukan, sejalan dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan karakteristik permasalahannya. Berkaitan dengan upaya peningkatan kinerjanya, maka upaya pelaksanaan lebih dititik beratkan pada tercapainya perubahan personal (manusia). Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa tingkat keberhasilan akan diawali pada keberhasilan mengubah manusianya kearah positif.
Pada dasarnya, dari pelaksanaan tata tertib yang diharapkan di DPRD Rokan Hulu adalah sebagaimana dikemukakan oleh Toha (2003;35) yaitu penerapan prinsip-prinsip Transparency (keterbukaan) atau dalam merumuskan setiap kebijakan berkaitan dengan tugas dan wewenang harus diketahui oleh banyak pihak, Idependency (kemandirian), yaitu komitmen untuk bekerja keras dengan kemandirian dan kesepakatan semua komponen untuk bekerja keras menjalani perubahan ke arah yang positif, Fairness (berkeadilan) merupakan bentuk pelayanan tanpa memandang status sosial dan kemampuan untuk memberikan penjelasan, Accountability (kepercayaan) yaitu penerapan kepercayaan dalam pertanggung jawaban tindakan pimpinan kepada pihak yang memiliki hak atau yang berwewenang meminta pertanggungjawaban itu, yaitu masyarakat, dan Responsibility (bertanggung jawab).
Selanjutnya untuk mengukur bagaimana pelaksanaan kode etik (tata tertib) lembaga dalam upaya meningkatan kinerja anggota DPRD Rokan Hulu, Thoha (2003:35) berpendapat bahwa sesuai dengan karakteristik dan wewenang lembaga DPRD sebagai lembaga legislatif, yaitu :
1. Kesopanan, dilihat dari sikap dan perlakuan individu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
2. Keadilan, dalam memberikan pelayanan tanpa memandang status sosial dan kemampuan untuk memberikan penjelasan.
3. Kedisiplinan, ketaatan individu terhadap peraturan disiplin kerja dan prosedur kerja.
4. Tanggungjawab, adanya tanggungjawab sebagai pemegang amanat, berupa jaminan terhadap pelayanan yang diberikan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tata tertib sebagai alat utama pelaksanaan dari administrasi, sedangkan DPRD ialah instansi tempat berlangsungnya kegiatan pelaksanaan/penerapan.
Salah satu indikator pelaksanaan tata tertib tersebut adalah sikap dan perilaku kedisiplinan anggota dewan. Kedisiplinan yang diharapkan adalah kedisiplinan masuk kerja, kedisiplinan menggunakan jam kerja kantor. Kedisiplinan anggota dewan DPRD Rokan Hulu tergolong masih perlu pembenahan. Daftar absensi boleh dikatakan sebagai bentuk formalitas saja, dimana dari data absensi menunjukkan betapa tertib dan disiplinnya anggota dewan, meskipun kenyataannya setelah mendatangani daftar hadir kemudian meninggalkan tugas, dan tiba dikantor pada saat akan mengisi daftar hadir pulang. Berkaitan dengan kedisplinan dalam hal penggunaan waktu kerja dimana ditetapkan jam kerja dimulai 07.30. Namun kenyataannya, sering terjadi anggota dewan hadir pada jam 08.00 atau bahkan lebih dari jam masuk kerja yang ditetapkan.
Disamping itu awal masuk kantor setelah masa reses berakhir, terkadang tidak tepat waktu. Pola atau budaya seperti ini apabila tidak segera ditindak lanjuti dengan penerapan penghargaan (reward) dan hukuman (punishment), maka tidak akan terjadi pola keseimbangan dalam pelaksanaan kedisiplinan untuk pencapaian kinerja yang maksimal, sebagaimana keadaan absensinya sebagai salah satu instrumen pelaksanaan tata tertib DPRD yang terdapat dalam tabel I.1 dibawah ini :

Tabel I.1 Rekapitulasi Keadaan Absensi Anggota DPRD Rokan Hulu
(Keadaan Tahun 2005-2007)

Tahun Terlambat
Masuk Alpa
( A ) Ijin
( I ) Sakit
( S ) Dinas Luar Hari Kerja
2005 14 1 8 12 135 216
2006 9 3 14 9 145 212
2007 11 2 9 8 150 215
Jumlah 34
6 31
29
430
643

Rata-rata
( % ) 11
(32,35) 2
(33,33) 10
(32,25) 9
(31,03) 143
(33,25) 214
(33,28)
Sumber: Sekretariat DPRD Rokan Hulu 2008

Berdasarkan data tersebut diatas, tercatat bahwa dalam masa bhakti anggota DPRD Rokan Hulu periode 2004 sampai dengan 2009, maka dalam kurun waktu 3 tahun tersebut, rata-rata anggota dewan yang terlambat masuk pertahunnya rata-rata 11 orang atau 32,35 %, alpa rata-rata sebanyak 2 orang pertahun atau 33,33 %, Ijin rata-rata sebanyak 10 orang pertahun atau 32,25 %, sedangkan sakit rata-rata sebanyak 9 orang pertahun atau 31,03 %. Dari data tersebut tergambar dengan jelas tingkat kedisiplinan anggota DPRD sebagai salah satu instrumen pelaksanaan tata tertib DPRD termasuk dalam kategori kurang, sehingga kinerjanya cenderung kurang maksimal pula.
Sementara itu pemberian ¬reward dan punishment merupakan wewenang yang telah direkomendasikan oleh Badan Kehormatan yang berugas mengamati, mengevaluasi kedisiplinan, etika dan moral anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas anggota DPRD, kepada pimpinan DPRD.

Bentuk sangsi yang termasuk dalam butir-butir tata tertib yang bias dijadikan acuan dalam memberikan sangsi bangi anggota DPRD adalah : (1) Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis tanpa izin Pimpinan Fraksi, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberikan teguran tertulis oleh Pimpinan Fraksi, (2) Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga bulan berturut-turut dalam rapat sejenis, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberhentikan sebagai anggota DPRD.
Hasil pra survey yang penulis lakukan di lapangan, didapatkan fenomena atau gejala-gejala yang muncul sebagai berikut :
1. Kurangnya kemampuan intelektual-personal dalam merangkum, mengemas konsep kode etik (tata tertib) yang akan dijadikan dasar/aturan berkaitan dengan keberadaan anggota DPRD yang 43 % atau 15 orang berpendidikan SLTA,
2. Kurangnya implementasi yang nyata dalam pelaksanaan tata tertib sebagai akibat adanya beberapa kepentingan partai politik yang berbenturan dengan kebijakan yang telah ditetapkan dalam tata tertib, sebagai misal belum sepenuhnya perjuangan dan penyampaian aspirasi rakyat mewakili masyarakat secara umum. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa anggota DPRD merupakan kepanjangan tangan dari berbagai partai politik yang memiliki kepentingan dan keterwakilan yang berbeda.
3. Kesadaran anggota DPRD yang masih kurang dalam mengimplementasikan tata tertib, contohnya kedisiplinan masuk kerja kantor. Hal tersebut ditandai adanya anggota yang meninggalkan tugas, sering absen kehadiran, atau pada absensi hadir terdapat paraf, namun demikian terdapat beberapa anggota yang sudah meninggalkan kantor sebelum jam pulang kerja.
Dari fenomena kinerja anggota DPRD yang belum maksimal tersebut dalam rangka mencapai efektivitas kinerjanya diperlukan penerapan kode etik atau tata tertib yang mengatur segala akitivitasnya. Disamping itu dengan memberikan motivasi yang intensif diharapkan akan menciptakan kondisi kinerja yang selalu semangat dan termotivasi dalam melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain bahwa setiap perilaku, sikap dan kinerjanya menjadi kewajiban dan tanggung jawab seluruh individu anggota DPRD.
Berdasarkan fenomena-fenomena atau gejala-gejala tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul; “Pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam Meningkatkan Kinerja Anggota DPRD di Kabupaten Rokan Hulu”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, kiranya dapat diuraikan bahwa pelaksanaan tata tertib anggota DPRD berhubungan dengan fungsi-fungsi manajerial penyelenggaraan negara yang menuju kearah bentuk pemerintahan yang baik.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di latar belakang bahwa kinerja anggota DPRD Kabupaten Rokan Hulu berkaitan dengan pelaksanaan Tata Tertib, belum berjalan efektif dan efesien serta sesuai dengan peraturan yang berupa kode etik yang ditetapkan. Selain dari itu ada indikasi perilaku anggota DPRD masih relatif belum baik.
Idealnya atau yang diharapkan dari pelaksanaan tata tertib paling tidak dapat memberikan kontribusi sedini mungkin tentang berbagai bentuk peringatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyimpang dalam pelayanan public sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan sebenarnya dan efisien serta efektif, dengan demikian kinerja anggota DPRD dapat ditingkatkan.
Berdasarkan latar belakang masalah dan gejala-gejala yang muncul sebagai asumsi dasarnya, maka pokok permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: “ Bagaimana pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam Meningkatkan Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Rokan Hulu ?”

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam Meningkatkan Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Rokan Hulu
b. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam Meningkatkan Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Rokan Hulu
2. Kegunaan Penelitian
a. Menjadi bahan referensi dan informasi bagi DPRD Kabupaten Rokan Hulu kaitannya dengan pelaksanaan Tata Tertib DPRD dalam meningkatkan kinerja.
b. Bagi khasanah keilmuan dan civitas akademika, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dan bahan referensi bagi pengembangan pengetahuan serta penelitian yang akan datang.

D. Konsep Teoritis
Kedisiplinan dan ketertiban tugas dan wewenang DPRD merupakan konsep pemikiran dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan negara, baik secara administrasi maupun manajemen yang berorientasi pada rakyat.
Menurut Thoha (1983:36) administrasi sendiri merupakan kumpulan segenap proses penyelenggaraan sekelompok manusia yang terorganisir untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan dalam lingkup pemerintahan, administrasi merupakan sekumpulan kumpulan segenap proses penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu organisasi/instansi yang sistematis dan terorganisir untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pengelolaan administrasi yang diharapkan dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan menurut Lembaga Administrasi Negara (2004) berorientasi pada :
1. Pencapaian tujuan nasional negara baik secara umum maupun khusus.
2. Kepemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu efektif, efisien sejalan paradigma pembangunan nasional.
Lebih lanjut dalam Rencana Strategis Lembaga Administrasi Negara 2000-2004 disebutkan perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan administrasi negara dan pembangunan yang terarah pada terwujudnya pemerintahan yang baik (Good Governance) yakni : “…. Proses pengelolaan pemerintahan yang demokratis, professional menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, partisipatif, transparan, berkeadilan, bersih, akuntabel dan berorientasi pada peningkatan daya saing”.
Penyelenggaraan pemerintahan menurut UU No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 (6) adalah penyelenggaraan negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta perbuatan tercela. Asas umum penyelenggaraan pemerintahan adalah :
a. Menjunjung tinggi nilai kesusilaan
Penyelenggaraan pemerintahan yang lebih mengutamakan pelayanan, pengabdian, dan memberi pengayoman serta keadilan kepada masyarakat tanpa membedakan latar belakang.
b. Kepatuhan terhadap norma hukum
Komitmen bersama para penyelenggara/aparatur pemerintahan untuk menjunjung tinggi ketentuan hukum yang berlaku, yang dimplementasikan dalam memberikan tindakan tegas kepada aparat yang terbukti melanggar norma hukum.
c. Bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dengan meninggalkan tindakan yang melanggar hukum yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme.
Menurut Thoha (2003:36) administrasi sendiri merupakan kumpulan segenap proses penyelenggaraan sekelompok manusia yang terorganisir untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan dalam lingkup pemerintahan, administrasi merupakan sekumpulan dari segenap berbagai proses
penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu organisasi/instansi yang sistematis dan terorganisir untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya Soewarno Handayaningrat (1990:2) menyebutkan bahwa istilah administrasi dapat dibedakan menjadi 2 pengertian, yaitu :
a. Pengertian administrasi dalam arti sempit, yaitu dari istilah Belanda administratie yang meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik dan sebagainya.
b. Pengertian administrasi dalam arti luas, yaitu dari istilah administration, yaitu didefinisikan sebagai bimbingan, kepemimpinan dan pengawasan daripada usaha-usaha kelompok individu-individu terhadap tercapainya tujuan bersama.
Pengelolaan administrasi yang diharapkan dalam kerangka prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik menurut Lembaga Administrasi Negara berorientasi pada :
a. Pencapaian tujuan nasional negara baik secara umum maupun khusus.
b. Kepemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu efektif, efisien sejalan paradigma pembangunan nasional.
Menurut Sondang P. Siagian (1996:1) menyebutkan bahwa pengertian administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang terlibat dalam suatu bentuk usaha bersama demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Enam ide pokok tersebut pada akhirnya akan menjadi sub system dari administrasi secara keseluruhan atau disebut total system. Menganalisa administrasi sebagai suatu totalitas tidak lepas dari pembahasan tentang adanya komponen administrasi tersebut yang merupakan bagian dari suatu system manajemen.
Lebih lanjut dalam Rencana Strategis Lembaga Administrasi Negara 2000-2004 disebutkan perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan administrasi negara dan pembangunan yang terarah pada terwujudnya pemerintahan yang baik yakni : “proses pengelolaan pemerintahan yang demokratis, professional menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, partisipatif, transparan, berkeadilan, bersih, akuntabel dan berorientasi pada peningkatan daya saing”.
Dalam kerangka pelaksanaan administrasi yang baik, maka sangat bergantung pada manejerialnya. Manajemen di sini berperan sangat penting terutama dalam pelaksanaan administrasi. Ide pokok tersebut (administrasi dalam pelaksanaan) pada akhirnya akan menjadi sub system dari administrasi secara keseluruhan atau disebut total system. Menganalisa administrasi sebagai suatu totalitas tidak lepas dari pembahasan tentang adanya komponen administrasi tersebut yang merupakan bagian dari suatu sistem manajemen.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2 (1991:470) disebutkan bahwa pengelolaan berarti proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain.
Soewarno Handayaningrat (1990:19) mengemukakan bahwa pengertian manajemen berhubungan dengan pencapaian suatu tujuan yang dilakukan melalui dan dengan orang-orang lain. Sudut pandang mengenai manajemen yang dikemukakan para ahli juga berdampak pada pendapat-pendapat mereka terhadap keseluruhan aspek/komponen yang berhubungan dengan manajemen.
Menurut Abi Sujak (1990:72) mengemukakan bahwa melaksanakan fungsi manajerial meliputi perencanaan, pengontrolan dan kepemimpinan, akan berpengaruh terhadap kesuksesan dalam pelaksanaan.
Sedangkan menurut Nitisemito (1996:10) mengatakan bahwa manajemen yang berkaitan dengan sumber daya manusia adalah ilmu dan seni untuk melaksanakan planning, organizing, controlling, sehingga efektifitas dan efisiensi sumber daya manusia dapat ditingkatkan semaksimal mungkin.
Dari definisi diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa manajemen berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia merupakan suatu kegiatan untuk merencanakan, mengatur, mengawasi dan mengarahkan tenaga kerja dengan berbagai metode, program serta teknik yang sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Endro Sumarjo (2004: 17) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan penyelenggaraan negara yang baik di Indonesia memang belum pasti, meskipun komitmen pemerintah tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2000 bahwa: “ … bahwa globalisasi perekonomian menghendaki diterapkannya prinsip-prinsip universal seperti pengelolaan yang baik.
Salah satu dasar dalam pengembangan sumber daya manusia ialah bahwa setiap organisasi sebagai wadah sumber daya manusia mempunyai karakteristik atau jati diri yang khas. Artinya bahwa setiap organisasi mempunyai ‘kepribadian’ sendiri yang membedakannya dengan organisasi yang lainnya. Tentunya kepribadian itu didapatkan melalui proses yang berkelanjutan. Proses tersebut tidak lepas dari peranan anggota organisasi dalam menjalankan administrasi dan manajerialnya.
Menurut Stephen P. Robin (2003: 350) bahwa mengubah orang atau membantu individu dan kelompok dalam organisasi untuk bekerjasama dalam melakukan perubahan mencakup perubahan sikap dan perilakunya sebagai anggota organisasi lewat proses komunikasi dan pengambilan keputusan.
Pelaksanaan tata tertib atau kode etik bagi anggota DPRD merupakan hal yang tidak asing dari proses manajemen yang menuju perubahan. Penerapan Tata Tertib merupakan konsep pemikiran dalam upaya pelaksanaan perubahan penyelenggaraan pemerintahan negara, baik administrasi maupun manajemen yang berorientasi pada rakyat.
Salah satu faktor yang mendukung sekaligus mempengaruhi pentingnya pelaksanaan tata tertib secara sungguh-sungguh adalah keberadaan masyarakat yang kritis, yakni masyarakat yang memberikan kritik tajam terhadap perilaku penyelenggara negara yang menyimpang ataupun yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan aturan-aturan yang berlaku.
Tata Tertib atau Kode etik sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2004 ialah meliputi norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan sikap, perilaku, ucapan, tata kerja, tata hubungan antara lembaga negara dan antar anggota lembaga di DPRD mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh anggota DPRD.
Tata Tertib atau Kode Etik sebagaimana pengertian diatas bertujuan untuk menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas anggota DPRD serta membantu anggota DPRD dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya serta tanggung jawabnya kepada pemilih, masyarakat dan negara.
Secara global sebagaimana termuat dalam Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2004 pasal 106 disebutkan bahwa pelaksanaan tata tertib atau kode etik DPRD diantaranya ialah :
1. Anggota DPRD wajib bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila dan taat pada Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan.
2. Berintegritas tinggi, jujur dan senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran.
3. Menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, serta sanggup dalam mengemban amanat penderitaan rakyat
4. Mengembangkan dan memperjuangkan serta bertanggung jawab terhadap aspirasi rakyat kepada lembaga terkait.
5. Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis tanpa izin Pimpinan Fraksi, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberikan teguran tertulis oleh Pimpinan Fraksi.
6. Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga bulan berturut-turut dalam rapat sejenis, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberhentikan sebagai anggota DPRD.
Mencermati tat tertib atau kode etik tersebut maka, perubahan paradigma menuju kebaikan mutlak harus dilakukan, kendati perubahan paradigma tidak dapat dilakukan dengan cepat, karena harus dilakukan secara hati-hati dan tersistem. Terlebih lagi dengan adanya otonomi daerah, dimana kewenangan atau urusan berada di daerah, yang tentunya pengalihan ini perlu dilakukan secara berencana dan sistematis.
Setelah semua syarat tersebut diatas terpenuhi maka kondisi yang sudah serba baik itu dimulailah pelaksanaan penyelenggaraan negara yang tertib dan baik dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Keteladanan
Keteladanan dari atas ke bawah berupa perilaku yang baik yang dapat dicontoh oleh orang lain. Elite politik yang menjadi pemimpin bangsa (penyelenggara pemerintahan) harus menjadi contoh atau suri tauladan kepada rakyatnya. melalui perilaku atau perbuatan yang terpuji dan dapat bermanfaat dalam proses perubahan yang diinginkan.
2. Komitmen
Komitmen untuk bekerja keras dengan kemauan dan kesepakatan semua komponen untuk bekerja keras menjalani perubahan ke arah yang positif.
Evaluasi terhadap pelaksanaan tata tertib harus didasarkan pada target-target yang dapat diukur baik secara kualitatif maupun kuantitatif, misalnya ukuran waktu, hitungan angka, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sebagainya.
Penyelenggaraan negara menurut UU No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 (6) adalah penyelenggaraan negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta perbuatan tercela. Asas umum penyelenggaraan pemerintahan adalah :
a. Menjunjung tinggi nilai kesusilaan
Penyelenggaraan pemerintahan yang lebih mengutamakan pelayanan, pengabdian, dan memberi pengayoman serta keadilan kepada masyarakat tanpa membedakan latar belakang.
b. Kepatuhan terhadap norma hukum
Komitmen bersama para penyelenggara/aparatur pemerintahan untuk menjunjung tinggi ketentuan hukum yang berlaku, yang dimplementasikan dalam memberikan tindakan tegas kepada aparat yang terbukti melanggar norma hukum.
c. Bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
Penyelenggaraan negara yang bersih dengan meninggalkan tindakan yang melanggar hukum yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme.
Adam Indrawijaya (1989: 32) menyebutkan bahwa kondisi lingkungan bukan merupakan factor penentu perubahan. Banyak ahli yang berhipotesa untuk membuktikan bahwa factor manusia adalah penentu sebuah perubahan, sebagai misal Kurt Lewin, Benne, Frederick W. Taylor mengatakan bahwa interaksi personal dan interaksi kelompoklah yang menentukan perubahan akan terjadi.
Keberadaan Tata Tertib bagi anggota DPRD ini untuk menjadi dasar pedoman dalam memberikan arah bagi sikap, perilaku dan cara berpikir anggota DPRD ke arah yang pasti/positif. Lebih pasti lagi, bahwa dengan pendekatan ini, yang menjadi pusat perhatian adalah usaha perubahan untuk membuat sub system manusia dapat lebih berfungsi. Termasuk hubungan manusia dengan pekerjaan serta kelembagaannya. Disamping itu, pendekatan ini lebih banyak memberikan perhatian pada data kualitatif seperti perasaan, sikap, watak, tabiat dan perilaku.
Menurut Stephen P. Robin (2003: 350) bahwa mengubah orang atau membantu individu dan kelompok dalam organisasi untuk bekerjasama dalam melakukan perubahan mencakup perubahan sikap dan perilakunya sebagai anggota organisasi lewat proses komunikasi dan pengambilan keputusan.
Anggota DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan harus diupayakan kepada perubahan yang positif, efisien dan didukung dengan upaya pengembangan sumber daya manusia. Sejalan dengan pelaksanaan tata tertibnya, maka tentunya setiap anggota DPRD harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut; pertama, meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraan masyarakat; kedua, meningkatkan prakarsa, kreatifitas dan peran serta setiap individu dalam proses perubahan yang sedang berlangsung.
Pada dasarnya penyelenggaraan dapat dikategorikan berjalan dengan baik, apabila kemajuan-kemajuan yang didapat dari perubahan telah memberikan nilai yang signifikan dalam rangka perubahan ke arah penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan tertib. Indikator kemajuan-kemajuan tersebut antara lain adalah :
1. Terlaksananya tata tertib atau kode etik bagi anggota DPRD secara nyata. Diberbagai kesempatan, hampir setiap fraksi mendapat arahan dari pimpinan, dengan demikian setiap fraksi dapat saling mengikuti, menilai dan mengevaluasi perkembangan antar fraksi melalui laporan pimpinan unit.
2. Penyelenggaraan evaluasi yang yang dilakukan Badan kehormatan dalam setahun sekali, yang pada agenda pertama membahas tentang pelaksanaan tata tertib yang dilakukan secara terbuka dan demokratis.
Namun demikian, dari pelaksanaan tata tertib yang dilakukan, setiap unsur atau unit dalam organisasi tetap harus memperbaiki manajemennya terutama yang berkaitan dengan personalnya, antara lain : pertama, perilaku anggota yang kurang disiplin, yang tentu saja hal ini termasuk dalam kategori melanggar aturan/kode etik atau tata tertib dan tidak sesuai dengan kewajibannya sebagai anggota dewan; kedua, belum juga diterapkannya balancing bagi anggota dalam hal penghargaan dan juga hukuman; ketiga, belum adanya tolok ukur untuk pelaksanaan tata tertib atau kode etik secara terukur.
Sementara itu kaitannya dengan peningkatan kinerja, Sedarmayanti (2002;148) menyebutkan bahwa kinerja sebagai hasil kerja seseorang, sebuah proses manajemen dari suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut dapat ditunjukkan dengan secara konkrit dan dapat diukur.
Nisjar (1995;141) menyebutkan bahwa kinerja sama artinya dengan performance atau hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang dalam suatu kelompok sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya serta beretika.
DPRD Rokan Hulu sebagai lembaga negara dalam mencapai kinerja yang optimal apabila ditunjang dengan kinerja perorangan dan kinerja organisasi. Artinya bahwa anggota DPRD Rokan Hulu sebagai kunci utama tercapainya peningkatan kinerja tersebut. Dengan kata lain bahwa denagan kinerja sumber daya anggota DPRD yang baik maka kemungkinan besar kinerja DPRD Rokan Hulu akan baik pula. Salah satu upaya menciptakan hal tersebut adalah dengan pelaksanaan Tata Tertib sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan, dengan ditunjang berbagai rasionalisasi dari prinsip-prinsip manajemen organisasi yang mengandung berbagai kebijakan-kebijakan untuk keselarasan dalam pelaksanaan kerja.
Disamping itu manajemen kebijakan telah diterapkan untuk menghindari banyaknya manajemen operasional. Manajemen kebijakan dalam lembaga/organisasi meliputi perampingan organisasi. Perampingan organisasi memang menjadi masalah besar dan berat, karena birokrasinya terlalu besar. Dimulai dari upaya zero growth yang kurang berjalan, disebabkan perlunya peningkatan kemampuan sumber daya manusianya dalam manajemen dan analisa kebijakan serta pengambilan keputusan.
Sebagaimana terjadi pada DPR periode sebelumnya, DPR periode 1999-2004 juga melakukan perubahan terhadap Peraturan Tata Tertib DPR (selanjutnya disebut Tatib DPR). Maksud dari dilakukannya perubahan tersebut adalah untuk membantu DPR periode 2004-2009 dalam melaksanakan persidangan-persidangan awalnya. Oleh karena sifatnya membantu, DPR yang akan menggunakan Tatib tersebut, dapat melakukan perubahan-perubahan. Namun, pada kenyataannya DPR periode 2004-2009 menerima seluruh Tatib yang diajukan tersebut.
Berdasarkan Tatib pasal 221, pada dasarnya, Tatib DPR dapat diubah kapan saja. Persyaratannya:
1. Diajukan oleh sekurang-kurangnya 13 orang Anggota atau alat kelengkapan DPR (yang khusus melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap Tatib adalah Badan Legislasi/ lihat Pasal 42 ayat (1) huruf g Tatib)
2. Tatib yang telah ada sudah dipergunakan selama 6 bulan.
Selama ini, perubahan terhadap Tatib ini dilakukan karena adanya perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan DPR. Sebagai contoh, pada masa DPR hingga sampai periode 1997-1999, perubahan yang dilakukan terhadap Tatib DPR tidaklah substansial, misalnya, hanya merubah istilah Organisasi Peserta Pemilihan Umum dan Golongan Karya ABRI menjadi PDI, PPP dan Golkar, atau perubahan besarnya jumlah anggota DPR yang diangkat. Bisa dikatakan, Tatib yang dipergunakan pada saat itu hampir sama. Hal ini dikarenakan undang-undang yang mengatur mengenai DPR memuat hal yang sama yaitu UU No. 16 Tahun 1969, UU No. 5 Tahun 1975 dan UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Sejak tahun 1999, ditandai dengan era reformasi, perubahan terhadap Peraturan Tatib menjadi sesuatu yang penuh dengan nuansa politis. Oleh sebab itu, perubahan Tatib, tidak hanya disesuaikan dengan perubahan terhadap UU yaitu dari UU No. 16 Tahun 1969 menjadi UU No. 4 Tahun 1999, namun juga, perubahan dapat disebabkan karena adanya tuntutan perubahan di dalam situasi perpolitikan kita. Lihat saja contoh kasus PDKB yang hanya memiliki 5 kursi namun dapat membentuk Fraksi, yang walaupun pada akhirnya Fraksi itu selanjutnya harus bubar dan menggabungkan diri dengan Fraksi yang ada (PKB dan KKI). Hal ini juga berimplikasi terhadap mekanisme kedewanan itu sendiri, dimana tidak ada lagi pembatasan hak-hak terhadap Fraksi yang kecil atau yang besar.
Pada DPR periode 1999-2004, Rancangan Perubahan Tatib DPR merupakan usul inisiatif Badan Legislasi DPR. Mengingat waktu yang sangat mendesak, Rapat Paripurna tanggal 24 Agustus 2004 telah memutuskan untuk menyerahkan pembahasan Perubahan Peraturan Tata Tertib DPR selanjutnya kepada Badan Legislasi DPR.
Badan Legislasi yang beranggotakan sebanyak 59 orang, terdiri atas 16 orang Anggota Fraksi PDIP, 14 orang Anggota Fraksi Partai Golkar, 7 orang Anggota Fraksi PPP, 6 orang Anggota dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, 5 orang Anggota Fraksi Reformasi, 5 orang Anggota Fraksi TNI/Polri, 2 orang Anggota Fraksi PBB, 2 orang Anggota Fraksi KKI, dan 2 orang Anggota dari Fraksi PDU, telah bekerja sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Untuk mempercepat proses pembahasan perubahan Peraturan Tata Tertib ini, pembahasan lebih difokuskan kepada penyesuaian terhadap hal-hal yang baru diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan DPR. Selain akibat dari amandemen konstitusi, juga terjadinya perubahan undang-undang yaitu antara lain: Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; dan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Itu sebabnya, adanya keinginan untuk membahas mengenai status Badan Legislasi dan Panitia Anggaran agar disamakan dengan Komisi, diputuskan untuk tidak dibahas pada saat ini, namun menyerahkannya kepada DPR yang akan datang. Keputusan ini diambil untuk menghindari persepsi bahwa DPR saat ini mendikte DPR periode yang akan datang. DPR saat ini hendak memberikan keleluasaan kepada DPR selanjutnya dalam menentukan kebutuhannya sendiri. Sehingga, seandainya akan diadakan perubahan, hal tersebut nantinya merupakan hasil karya DPR periode yang akan datang. Disadari, bagaimanapun juga DPR yang akan datanglah yang akan melaksanakan Peraturan Tata Tertib ini.
Namun, sayangnya, DPR dalam setiap melakukan pembahasan perubahan Tatib, tidak pernah mengikut sertakan masyarakat, dengan alasan bahwa Tatib mengatur mengenai internal DPR. Padahal, di dalam Tatib, tidak hanya diatur mengenai ke-DPR-an saja, namun juga mengatur mengenai pihak-pihak luar atau lembaga lain yang berkepentingan dengan DPR. Sejalan dengan UU SUSDUK pasal 102 ayat (3), yang memuat ketentuan agar Tatib yang mengatur pihak lain harus mendapat persetujuan dari pihak lain yang terkait, publik juga harus dimintakan persetujuan terhadap aturan yang mengaturnya. Ke depan, DPR dalam membahas perubahan Tatib, DPR harus memberikan ruang partisipasi publik.
Materi perubahan Tatib tersebut adalah :
a. Jumlah Bab dan Pasal
Peraturan Tata Tertib saat ini mengalami penambahan 4 bab dan 11 pasal sehingga menjadi 32 bab dan 233 pasal dari sebelumnya 28 bab 222 pasal.
b. Keanggotaan dan Fraksi
Agar para Anggota DPR dapat bekerja secara maksimal di dalam Komisi maupun Pansus-Pansus, Peraturan Tata Tertib ini mengatur ketentuan bahwa setiap Anggota DPR hanya dapat merangkap di satu alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Sehubungan dengan upaya meningkatkan kinerja DPR, jumlah keanggotaan Fraksi disesuaikan menjadi 13 orang. Ketua Pansus dalam penjelasannya menyatakan bahwa hal ini dimaksudkan agar setiap Anggota DPR dapat menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing secara lebih baik.
Kekurangan jumlah Anggota dalam satu Fraksi dapat menjadi hambatan bagi setiap Anggota untuk menjalankan tugas-tugasnya. Namun, dalam kondisi politik yang ada, Penulis berpendapat bahwa jumlah ini disesuaikan dengan kondisi partai PDS (yang notabene termasuk di dalam Koalisi Kebangsaan) yang mempunyai jumlah anggota 13. Hal ini diperkuat dari kenyataan bahwa pengusul jumlah anggota Fraksi 13 adalah Partai Golongan Karya.
c. Pimpinan DPR
Berkaitan dengan Pimpinan DPR, ada 3 hal yang mengalami perubahan yaitu mengenai jumlah Pimpinan, Pimpinan Sementara, dan Tata Cara Pemilihan Pimpinan DPR. Terkait dengan jumlah Pimpinan DPR, hal ini disesuaikan dengan UU SUSDUK, sehingga Pimpinan terdiri dari 1 Ketua dan 3 orang Wakil Ketua. Pimpinan Sementara bukan lagi berasal dari Anggota Tertua dan Anggota Termuda, namun diambil dari dua partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPR.
Ketentuan ini juga merujuk kepada UU SUSDUK. Selain itu, berkaitan dengan tata cara pemilihan Pimpinan DPR, diatur bahwa calon Pimpinan DPR diajukan oleh Fraksi dengan sistem 1 paket, yang berisi calon Ketua dan calon Wakil Ketua sekaligus. Pengambilan keputusan untuk menentukan calon Pimpinan DPR ini dilakukan melalui voting pada Rapat Paripurna tanggal 29 September 2004.
d. Badan Kehormatan
Mengingat pengalaman di masa lalu, dimana Dewan Kehormatan tidak berjalan dengan efektif, Badan kehormatan selanjutnya dijadikan sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Perubahan terminologi dari Dewan Kehormatan menjadi Badan Kehormatan disesuaikan dengan UU SUSDUK, yang mencantumkan Badan Kehormatan sebagai salah satu alat kelengkapan DPR.
e. Pembentukan Undang-Undang
Dalam kaitannya dengan pembentukan UU, telah diatur ketentuan mengenai RUU yang berasal dari DPD. RUU tersebut adalah RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumer daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Jika RUU tersebut berasal dari DPD, RUU tersebut, setelah diumumkan dalam Rapat Paripurna, langsung diserahkan kepada alat kelengkapan yang ditunjuk untuk membahasnya. Jadi, tidak ada proses pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak RUU yang diajukan oleh DPD tersebut.
Selesai membahas RUU tersebut, hasilnya langsung dikirimkan kepada Presiden untuk selanjut dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah. Selain itu, telah diatur pula mengenai proses penarikan suatu RUU. Hal ini sebagaimana diamanatkan oleh UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dimana, jika RUU sedang dalam tingkat pembicaraan, penarikan hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan bersama. Namun, jika RUU masih di tangan Presiden (masih menunggu Surat Pengantar Presiden), RUU bisa ditarik oleh DPR, jika ada persetujuan dalam Rapat Paripurna. Ketentuan yang baru, terkait dengan pembentukan undang-undang adalah mengenai penyebarluasan RUU maupun mekanisme partisipasi masyarakat. Untuk kedua hal ini telah diatur ketentuan-ketentuan yang mengikut kepada ketentuan yang ada di dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
f. Tingkat Pembicaraan
Tingkat Pembicaraan dalam undang-undang masih tetap sama, yaitu 2 tingkat pembicaraan. Namun, diputuskan untuk mengatur satu ketentuan dalam Pembicaraan Tingkat I, yaitu mengenai RUU yang sedang dibahas di Pembicaraan Tingkat I. Apabila dalam Pembicaraan Tingkat I, suatu RUU belum terdapat kesepakatan, baik antara Fraksi-Fraksi maupun antara Fraksi-fraksi dengan Pemerintah, untuk dibawa ke Pembicaraan Tingkat II, RUU tersebut tidak dapat dibawa ke Rapat Paripurna untuk pengambilan keputusan.
Hal ini tidak berarti bahwa suatu materi dalam RUU yang belum mendapat persetujuan, yang masih berbentuk alternatif, tidak dapat dibawa ke Pembicaraan Tingkat II. Jika materi dalam RUU tersebut belum mendapat persetujuan, namun telah disepakati untuk dibawa ke Rapat Paripurna untuk diambil keputusan, RUU tersebut dapat dilanjutkan ke Pembicaraan Tingkat II. Hal ini untuk mengantisipasi tidak terulangnya kasus RUU tentang Free Trade Zone (FTZ) Batam.
g. Pertimbangan terhadap RUU APBN, pajak, pendidikan dan agama dari DPD.
Dalam kaitannya dengan UU Susduk, dalam Pasal 26 ayat (1) butir d, yang menyatakan bahwa DPR bertugas dan berwenang untuk memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, telah diatur mengenai mekanisme permintaan pertimbangan tersebut, termasuk juga mengenai batasan waktu dalam memberikan pertimbangan tersebut.
Waktu pemberian pertimbangan dibatasi 14 hari kerja. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya keterlambatan proses pembahasan RUU tersebut. Apabila dalam waktu tersebut, DPD tidak memberikan pertimbangannya, DPR bisa menganggap DPD tidak memberikan pertimbangannya, oleh karena itu, RUU tersebut dapat dilaksanakan pembahasannya.
h. Pengawasan oleh DPD
Sehubungan dengan UU SUSDUK yang mengatur mengenai hasil pengawasan DPD terhadap undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama, telah diatur di dalam Tatib ini mengenai mekanisme pemberian hasil pengawasan dari DPD kepada DPR. Forum yang dipergunakan untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan tersebut adalah Rapat Konsultasi.
i. Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Dalam kaitannya dengan Penetapan APBN, telah diadakan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Juga diatur mengenai mekanisme pemberian pertimbangan oleh DPD terhadap RUU tentang APBN.
j. Konsultasi dan Koordinasi Sesama Lembaga Negara
Untuk menampung praktek yang selama ini telah terjadi, telah dirumuskan kembali mengenai bentuk-bentuk konsultasi dan koordinasi sesama lembaga negara. Dimana, pertemuan antara alat kelengkapan DPR dengan Pimpinan dan/atau unsur jajaran lembaga negara yang lain, tetap dihadiri oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi.
k. Hak-hak DPR dan Anggota DPR
Istilah dan jenis-jenis hak DPR dan hak-hak Anggota DPR disesuaikan dengan UU SUSDUK. Penambahan hak terdapat pada hak-hak Anggota, dimana terdapat hak untuk memilih dan dipilih dan hak membela diri. Ketentuan dalam UU SUSDUK Pasal 30, yang mengatur mengenai menghadirkan seseorang untuk dimintai keterangan, yang dulu dimasukkan sebagai salah satu hak DPR (yang dulu dikenal dengan hak subpoena), saat ini ketentuan ini dimasukkan dalam bab tersendiri. Penggunaan ketentuan ini dilaksanakan pada saat DPR melaksanakan tugas dan wewenangnya. Namun, khusus mengenai sanksi penyanderaan paling lama 15 hari, hanya dilakukan dalam pelaksanaan hak angket.
l. Impeachment terhadap Presiden.
Terkait dengan proses impeachment terhadap Presiden, telah ditambahkan ketentuan baru sebagai berikut: (pertama) Khusus mengenai hak angket, karena UU Angket masih berlaku, maka jumlah pengusul tidak 13 orang melainkan 10 orang. Namun, mengingat bahwa hak angket dapat berimplikasi pada impeachment, pengaturan mengenai jumlah pengusul ditambahkan ketentuan…"didukung oleh sekurang-kurangnya 2 Fraksi"; (kedua) Dalam pengambilan keputusan untuk meneruskan atau tidak suatu pernyataan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi, diatur kuorum yang berbeda dengan kuorum dalam pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam Bab 28 tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan. Perbedaan itu terletak pada kuorum untuk pengambilan keputusan terhadap impeachment adalah 2/3 dari jumlah seluruh Anggota. Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka putusan MK tersebut otomatis disampaikan kepada MPR.
m. Lain-lain
Hal lain yang perlu dicermati dari Tatib yang baru ini adalah perihal laporan hasil kunjungan kerja dan studi banding dalam Rapat Paripurna. Sesungguhnya ketentuan ini telah pernah diatur dalam Tatib DPR sebelumnya. Namun, dengan pemikiran efektivitas pelaksanaan
Rapat Paripurna, ketentuan ini dihilangkan. Dalam Tatib saat ini ketentuan tersebut dihidupkan kembali. Hal ini dimaksudkan agar publik dapat menjadi pemantau terhadap setiap kegiatan yang dilakukan oleh alat kelengkapan DPR. Pemantauan tersebut bukan hanya dilihat dari hasil kegiatan, apakah perlu atau tidak, namun juga untuk memantau pelaksanaan anggaran. Apakah anggaran yang dipergunakan telah sesuai dengan peruntukannya.
Disadari, bahwa Tatib yang ada saat ini masih akan terus mengalami perubahan, agar Tatib tersebut bukan menjadi belenggu bagi DPR dalam menjalankan tugas-tugasnya. Ke depan, penting bagi DPR untuk membuka ruang partisipasi bagi publik untuk memberikan masukan bagi Tatib yang baik. Hal ini dimaksudkan agar Tatib dapat dijalankan dan mendukung pelaksanaan tugas-tugas kedewanan.
Oleh karena itu hanya dengan politic will maka komitmen untuk melaksanakan tata tertib bagi penyelenggara negara untuk menganut prinsip public service (pelayan masyarakat). Sudah saatnya penyelenggara negara (anggota DPRD Rokan Hulu) berbenah diri menuju kearah perubahan yang lebih baik atau maksimal dalam penyelenggaraan dan pelayanan kepada masyarakat.

E. Konsep Operasional dan Teknik Pengukuran
1. Konsep Operasional
Untuk menghindari kesalahan persepsi dalam menafsirkan istilah yang dipergunakan serta guna mempermudah, meperjelas pengertian dan pemahaman konsep-konsepnya dalam penelitian ini sehingga terbentuk persamaan dan kesatuan persepsi, maka konsep operasional yang dikemukakan adalah sebagai berikut :
a. Pelaksanaan adalah implementasi nyata dari suatu obyek tertentu.
b. Tata Tertib DPRD ialah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan sikap, perilaku, ucapan, tata kerja dan tata hubungan yang menjadi acuan kinerja anggota DPRD.
c. Kinerja merupakan bentuk peningkatan nilai atau hasil yang dicapai dalam kinerja suatu instansi/lembaga/organisasi
d. Anggota DPRD adalah penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta perbuatan tercela.
e. Kabupaten Rokan Hulu merupakan wilayah administratif pemerintahan yang dikepalai oleh seorang bupati dan berada dalam wilayah cakupan propinsi Riau.
f. Anggota DPRD wajib bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila dan taat pada Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan.
g. Berintegritas tinggi, jujur dan senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran.
h. Menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, serta sanggup dalam mengemban amanat penderitaan rakyat.
i. Mengembangkan dan memperjuangkan serta bertanggung jawab terhadap aspirasi rakyat kepada lembaga terkait.
j. Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis tanpa izin Pimpinan Fraksi, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberikan teguran tertulis oleh Pimpinan Fraksi.
k. Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga bulan berturut-turut dalam rapat sejenis, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberhentikan sebagai anggota DPRD.
l. Kinerja merupakan perbuatan, pelaksanaan pekerjaan, prestasi kerja yang berdaya guna sebagai bagian dari proses manajemen suatu organisasi secarta keseluruhan.

2. Teknik Pengukuran
Untuk mempermudah realisasi pengukurannya, maka instrumen-instrumen tersebut dijabarkan dalam beberapa indikator-indikator untuk kemudian diukur dengan skala Baik, Cukup Baik, Kurang Baik. Adapun teknik pengukuran untuk variabel pelaksanaan Tata Tertib DPRD adalah sebagai berikut :
a. Anggota DPRD wajib bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila dan taat pada Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan, dengan kriteria :
- Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Berjiwa Pancasila
- Taat pada UUD 1945 dan perundang-undangan
Pengukurannya :
Baik : Apabila ke 3 kriteria tersebut di atas dilaksanakan
oleh anggota DPRD dalam melaksanakan Tata Tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
Cukup Baik : Apabila dari ke 3 kriteria tersebut diatas hanya 2
kriteria yang dilaksanakan anggota DPRD dalam melaksanakan Tata Tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
Kurang Baik : Apabila dari ke 3 kriteria tersebut diatas hanya 1
kriteria yang dilaksanakan anggota DPRD dalam melaksanakan Tata Tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
b. Berintegritas tinggi, jujur dan senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran dengan kriteria :
- Berintegritas tinggi
- Jujur
- Senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran
Pengukurannya :
Baik : Apabila ke 3 kriteria tersebut dilaksanakan oleh
anggota DPRD dalam pelaksanaan tata tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
Cukup Baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 2
kriteria yang dilaksanakan anggota DPRD dalam pelaksanaan tata tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
Kurang Baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 1
kriteria yang dilaksanakan anggota DPRD dalam pelaksanaan tata tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
c. Menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, serta sanggup dalam mengemban amanat penderitaan rakyat dengan kriteria :
- Menjunjung tinggi demokrasi
- Menjunjung tinggi hak asasi manusia
- Sanggup mengemban amanat penderitaan rakyat
Pengukurannya :
Baik : Apabila ke 3 kriteria tersebut dilaksanakan oleh
anggota DPRD dalam pelaksanaan tata tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
Cukup Baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 2
kriteria yang dilaksanakan anggota DPRD dalam pelaksanaan tata tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
Kurang baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 1
kriteria yang dilaksanakan anggota DPRD dalam pelaksanaan tata tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
d. Mengembangkan dan memperjuangkan serta bertanggung jawab terhadap aspirasi rakyat kepada lembaga terkait dengan kriteria :
- Mengembangkan aspirasi rakyat
- Memperjuangkan aspirasi rakyat
- Bertanggung jawab atas aspirasi rakyat
Pengukurannya :
Baik : Apabila 3 kriteria tersebut dilaksanakan anggota
DPRD dalam pelaksanaan tata tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
Cukup Baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 2
kriteria yang dilaksanakan anggota DPRD dalam pelaksanaan tata tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
Kurang Baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 1
kriteria yang dilaksanakan anggota DPRD dalam pelaksanaan tata tertib DPRD untuk meningkatkan kinerjanya.
e. Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis tanpa izin Pimpinan Fraksi, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberikan teguran tertulis oleh Pimpinan Fraksi, dengan kriteria :
- Ketidakhadiran sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis
- Tanpa izin Pimpinan Fraksi
- Dapat diberikan teguran tertulis
Pengukurannya :
Baik : Apabila ke 3 kriteria tersebut dilaksanakan oleh
pimpinan fraksi terhadap anggota DPRD yang melanggar pelaksanaan tata tertib DPRD kaitannya dengan peningkatan kinerja.
Cukup Baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 2
kriteria yang dilaksanakan pimpinan fraksi terhadap anggota DPRD yang melanggar pelaksanaan tata tertib DPRD kaitannya dengan peningkatan kinerja.
Kurang baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 1
kriteria yang dilaksanakan pimpinan fraksi terhadap anggota DPRD yang melanggar pelaksanaan tata tertib DPRD kaitannya dengan peningkatan kinerja.
f. Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga bulan berturut-turut dalam rapat sejenis, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberhentikan sebagai anggota DPRD, dengan kriteria :
- Ketidakhadiran sebanyak tiga bulan berturut-turut dalam rapat sejenis
- Termasuk kategori pelanggaran
- Diberhentikan sebagai anggota DPRD
Pengukurannya:
Baik : Apabila ke 3 kriteria tersebut dilaksanakan oleh
pimpinan fraksi terhadap anggota DPRD yang melanggar pelaksanaan tata tertib DPRD kaitannya dengan peningkatan kinerja.
Cukup Baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 2
kriteria yang dilaksanakan pimpinan fraksi terhadap anggota DPRD yang melanggar pelaksanaan tata tertib DPRD kaitannya dengan peningkatan kinerja.
Kurang baik : Apabila dari 3 kriteria tersebut di atas hanya 1
kriteria yang dilaksanakan pimpinan fraksi terhadap anggota DPRD yang melanggar pelaksanaan tata tertib DPRD kaitannya dengan peningkatan kinerja.

F. Metodologi Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Rokan Hulu yang beralamat di Pasir Pengarayan.
2. Populasi dan Sampel
Yang menjadi populasi dalam penelitian ialah seluruh anggota DPRD Rokan Hulu yang berjumlah 35 orang.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan Sampling Jenuh atau Sensus, yaitu teknik pengambilan sampel yang memasukkan semua anggota populasi menjadi sampel penelitian, hal ini dilakukan karena jumlah populasi yang relatif sedikit, sehingga jumlah sampel penelitian 35 orang. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel I.2 dibawah ini.
Tabel I.2 Keadaan Populasi dan Sampel Penelitian Anggota DPRD
Kabupaten Rokan Hulu
No Sub Populasi Populasi Responden Prosentase
1. Ketua 1 1 3,00
2. Fraksi/Anggota 34 34 97,00
JUMLAH 35 35 100,00
Sumber : Sekretariat DPRD Rokan Hulu 2008

3. Jenis dan Sumber Data
a. Data Primer
Data yang diperoleh langsung dari responden di lapangan terdiri dari :
1) Pelaksanaaan Tata Tertib DPRD, yaitu:
a) Anggota DPRD wajib bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila dan taat pada Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan.
b) Berintegritas tinggi, jujur dan senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran.
c) Menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, serta sanggup dalam mengemban amanat penderitaan rakyat
d) Mengembangkan dan memperjuangkan serta bertanggung jawab terhadap aspirasi rakyat kepada lembaga terkait.
e) Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis tanpa izin Pimpinan Fraksi, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberikan teguran tertulis oleh Pimpinan Fraksi.
f) Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga bulan berturut-turut dalam rapat sejenis, merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberhentikan sebagai anggota DPRD.
2) Faktor-faktor yang mengambat pelaksanaan Tata Tertib DPRD Rokan Hulu.
b. Data Sekunder
Data yang berkaitan dengan keberadaan DPRD Kabupaten Rokan Hulu, antara lain :
- Gambaran Umum DPRD Kabupaten Rokan Hulu
- Kedudukan dan Fungsi DPRD Kabupaten Rokan Hulu
- Keadaan dan Komposisi Alat Kelengkapan DPRD Kabupaten Rokan Hulu
- Keadaan dan Komposisi Anggota DPRD Kabupaten Rokan Hulu berdasarkan Partai Peserta Pemilu, Tingkat Umur, dan Tingkat Pendidikan
- Sarana & Prasarana DPRD Kabupaten Rokan Hulu
- Struktur Organisasi Sekretariat DPRD Kabupaten Rokan Hulu
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Pengamatan (Observasi)
Peneliti melakukan pengamatan secara langsung yang dilakukan penulis terhadap obyek yang diteliti yaitu tentang pelaksanaan tata tertib DPRD Kabupaten Rokan Hulu.
b. Wawancara (Interview)
Merupakan pengumpulan data dengan cara tanya jawab (secara lisan) yang dikerjakan secara sistematis dan didasarkan pada tujuan penelitian. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara bebas terpimpin, yaitu cara mengajukan pertanyaan secara bebas yang mengacu pada pedoman wawancara.
c. Angket (Kuesioner)
Merupakan daftar sejumlah pertanyaan yang diberikan kepada responden/subyek penelitian untuk mendapatkan data/ infomarsi. Dalam penelitian ini angket yang digunakan adalah angket tertutup, yaitu sejumlah pertanyaan yang telah disediakan pilihan jawaban, sehingga responden tinggal memilih jawaban yang sesuai dengan jalan memberi sebuah tanda.
5. Analisis Data
Setelah data di lapangan terkumpul, kemudian data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan jenis data dan dianalisa dalam bentuk tabel, angka, prosentase, yang kemudian ditafsirkan atau divisualisasikan dalam bentuk kalimat yang bersifat kualitatif.

1 komentar:

  1. Stainless Steel Magnets - titanium arts
    Ironing the casinosites.one Stainless Steel Magnets (4-Pack). Made in 나비효과 Germany. The 바카라 사이트 Titanium Arts titanium earrings Stainless Steel Magnets are an alloy made of steel in stainless poormansguidetocasinogambling.com steel

    BalasHapus