Selasa, 31 Maret 2009

Sosiologi Komunikasi Massa

Pengertian Komunikasi dan Komunikasi Massa

Setiap masyarakat membutuhkan sarana dan tata cara dalam berkomunikasi. Untuk memenuhi kebutuhan berinteraksi yang bersifat antarpribadi, dipenuhi melalui kegiatan komunikasi interpersonal atau antarpribadi. Sedangkan kebutuhan untuk berkomunikasi secara publik dengan orang banyak, dipenuhi melalui aktivitas komunikasi massa.

Dengan demikian komunikasi menjadi unsur penting dalam berlangsungnya kehidupan suatu masyarakat. Selain merupakan kebutuhan, aktivitas komunikais sekaligus merupakan unsur pembentuk suatu masyarakat. Sebab tidak mungkin manusia hidup di suatu lingkungan tanpa berkomunikais satu sama lain.
Proses dan Model Komunikasi Massa

Yang diartikan sebagai komunikasi massa adalah proses penyampaian informasi kepada khalayak massa dengan menggunakan saluran-saluran media massa. Jadi komunikasi massa tidak sama dengan media massa. Media massa hanyalah salah satu faktor yang membentuk proses komunikasi massa tersebut, yaitu sebagai alat atau saluran.

Komunikasi massa mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bentuk komunikasi lainnya. Ciri-ciri itu terlihat pada pelaku komunikaisnya, pengalaman komunikasi yang dirasakan oleh para pelaku yang dimaksud, serta isi informasi yang disebarluaskan melalui poses komunikasi tersebut.


TELAAH SOSIOLOGIS TENTANG KOMUNIKASI MASSA
Kajian Sosiologis mengenai Komunikasi Massa

Telaah sosiologis terhadap fenomena komunikasi massa belum sepenuhnya berkembang seperti yang diharapkan. Penyebab yang terpenting antara lain karena luasnya masalah itu sendiri, di samping adanya beberapa orientasi atau tema yang mendominasi studi mengenai masalah ini pada masa yang lalu. Tema yang dominan itu adalah tentang efek-efek langsung media massa kepada individu dan publik, dan mengenai apa yang disebut sebagai masyarakat dan kebudayaan massa.
Beberapa Pendekatan dalam Kajian Sosiologi Komunikasi Massa

Seharusnya sosiologi komunikais massa mengkaji secara mendalam masalah-masalah pokok yang begitu luas, mengenai interaksi media massa dengan masyarakat media massa dengan institusi sosial yang lain, dan sistem komunikasi massa dengan sistem-sistem sosial lainnya. Selain dengan tatanan masyarakat secara keseuruhan.

  1. Riset yang memetakan secara ditail pola yang menyeluruh dari perilaku komunikasi baik bagi seperangkat individu maupun lokasi tertentu.

  2. Riset yang berkenaan dengan hubungan (relationshp) antara model komunikasi.

  3. Riset yang berkenaan dengan distribusi kebutuhan komunikasi

  4. Riset yang lebih memperhatikan masalah bahasa komunikasi selain lisan dan tulisan

  5. Riset yang secara sistematik menggali dan memonitor sistem pengawasan dan pengendalian serta pemilikan faislitas-fasilitas komunikasi.


FUNGSI-FUNGSI KOMUNIKASI MASSA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Fungsi Surveillance dan Fungsi Korelasi

Analisis isi merupakan teknik penelitian untuk memperoleh gambaran isi pesan komunikasi massa yang dilakukan secara:

  1. Objektif
    Analisis isi dirumuskan dengan persis agar siapa saja yang menggunakan akan memperoleh hasil yang sama.

  2. sistematik
    Isi media massa yang akan dianalisis dipilih dengan cara yang telah ditetapkan

  3. sosiologis
    masalah yang akan dianalisis mempunyai relevansi dengan kehidupa kemasyarakatan.

Analisis ini dapat menghaislkan pemahaman tentang pengiriman atau sumber pesan, kecerdasan, kepribadian, sikap, motif, nilai dan tujuan serta pengaruh dari kelompok. Namun perlu diperhatikan bahwa analisis isi tidak memberikan bukti yang langsung tentang sifat komunikator, khalayak ataupun efeknya.

Sedangkan pendekatan analisis fungsional perhatiannya pada fungsi dan disfungsi komunikasi massa bagi kehidupan anggota masyarakat.


Fungsi Pewarisan Budaya dan Fungsi Penghiburan

Pendekatan institusional berpandangan bahwa kelembagaan yang mewadahi aktivitas komunikasi massa, ditentukan oleh sistem komunikasi yang berlaku pada masyarakat tertentu. Misalnya lembaga komunikasi massa di negara dengan sistem demokrasi, berbeda dengan yang berlaku di negara komunis.

Salah satu cara menjadikan komunikasi sosial melembaga adalah komunikasi massa. Hal ini terjadi berkat adanya tata cara, prosedur serta aturan-aturan yang mengikat. Dengan demikian komunikasi sosial yang ada di tegah masyarakat terbentuk oleh berbagai ketentun tersebut di atas. Sehingga analisis mengeai bentuk-bentuk kelembagaan komunikasi massa adalah menyangkut masalah deteksi, deskripsi dan analisis tentang ekspektasi sosial.


KOMUNIKASI SEBAGAI SUATU SISTEM SOSIAL

Pengertian Sistem Sosial

Melalui fungsi surveillence, media massa memberikan informasi kepada masyarakat. Segala peristiwa dan kejadian, di mana saja di sekitar kita baik dekat maupun jauh hampir tidak pernah luput dari pemberitaan media massa. Contoh: pada waktu meletusnya Perang Teluk, masyarakat di seluruh dunia dapat mengikuti perkembangan dari detik ke detik selama 24 jam melalui media massa.

Fungsi surveillance sendiri bagi individu dapat berfungsi sebagai :

  1. peringatan (warning)

  2. menambah pretise

  3. Instrumental


. Pemberi status

Bagi masyarakat

  1. peringatan (awaning)

  2. instrumental

  3. membuat masyarakat menjadi etis


Interaksi Sistem Komunikasi Massa dengan Sistem Sosial Lainnya

Melalui fungsi pewarisan budaya, media massa melakukan pendidikan kepada masyarakat, karena melalui informasi, maka masyarakat akan merasa lebih padu dengan lainnya. Sehingga dengan demikian dapat dicapai suatu dasar berpikir yang sama. Sebab melalui media massa semua informasi dapat menyebar dengan cepat melebihi saluran yang lain.

Disfungsi dari pewarisan budaya bagi individu adalah proses sosialisasi yang sama bagi setiap individu karena adanya pengaruh komunikasi massa yang memberitakan hal-hal yang sama

Fungsi hiburan bagi individu merupakan pelepas lelah, sedangkan bagi masyarakat adalah pelepas bagi kelompok-kelompok massa. Adapun disfungsinya bagi individu adalah meningkatkan kepastian menurunnya selera sedangkan bagi masyarakat merupakan suatu pelarian.


MEDIA MASSA SEBAGAI SUATU PRANATA SOSIAL
Komunikasi Massa sebagai Suatu Pranata Sosial

Semua aktivitas sosial pada hakikatnya merupakan suatu sistem. Hal ini dikarenakan pada umumnya semua kegiatan sosial terdiri dari sejumlah komponen, yang satu sama lain terangkai dalam fungsi-fungsi tertentu dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Menurut Almond keterkaitan antara elemen terebut di atas memiliki ciri-ciri tertentu yaitu:

  1. kekomprehensifan

  2. interdependensi

  3. adanya batas

Menurut Reading, sistem sosial merupakan suatu sistem dari elemen-elemen sosial. Mihel berpendapat bahwa suatu sistem sosial pada dasarnya terdiri dari dua orang individu yang melakukan interaksi secara langsung dan tidak langsung dalam suatu situasi kebersamaan. Yang menjadi perhatian khusus dari sosiologi adalah oreientasi para individu yang menjadi nsur sistem tersebut.


Media Massa dan Social Control

Apabila kita membaca surta kabar/majalah maka berita yang kita baca merupakan hasil interaksi antara sistem komunikasi massa dengan sistem-sistem sosial hasilnya seperti misalnya sistem politik dan sistem ekonomi.

Sistem komunikasi massa dapat mempengaruhi sistem pendidikan misalnya sistem komunikasi massa yang terlalu berorientasi untuk mencapai keuntungan, sehingga segala sesuatunya diarahkan untuk mendapatkan uang. Bagi pendidikan hal ini dapat menimbulkan dampak yang negatif.

KOMUNIKASI MASSA DAN MASYARAKAT MASSA

Media Massa dan Masyarakat Massa

Dalam modul ini kita menempatkan media massa sebagai suatu pranata sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berkomunikasi. Kelembagaan media massa kita sejajarkan dengan berbagai pranata sosial lain seperti pranata pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.

Setiap pranata tumbuh untuk memfungsikan dirinya di tengah masyarakat. Dalam perkembangannya telah terjadi perluasan fungsi media massa baik itu dengan mengambil alih sebagian fungsi yang tadinya diemban oleh pranata sosial lain, atupun berbagi secara bersama-sama menjalankan fungsi tersebut.

Transfer fungsi di antara pranata-pranata sosial memang sesuatu yang wajar terjadi seiring dengan berkembangnya kehidupan masyaakat. Ada panata yang tadinya berfungsi tunggal sekarang jadi berfungsi ganda. Sebaiknya ada yang tadinya berfungsi ganda tapi karena satu per satu fungsi tadi ditransfer ke pranata lain, maka ia sendiri berubah menjadi panata berfungsi tunggal.

Namun tampaknya transfer atau pengalihan fungsi tersebut tidak sampai mengubah total fungsi semula dari pranata yang bersangkutan, namun berpengaruh bagi penampilannya di tengah masyarakat luas.

Komunikasi Massa dan Budaya Massa

Sebagai pranata sosial media massa berfungsi melakukan pengendalian sosial (social control) di tengah kehidupan masyarakat. Efektif atau tidaknya social control yang dilakukan oleh media massa, akan tergantung pada integritas media massa itu sendiri serta tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media massa yang bersangkutan.

Media massa sendiri menjadi objek pengendalian sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Untuk keperluan itu bahkan diadakan sejumlah pranata lain seperti badan sensor, dewan kehormatan pers dan sebagainya. Jadi pengawasan sosial yang berlangsung sifatnya dalah timbal balik antara media massa dengan menyasarakat itu sendiri.


EFEK SOSIAL KOMUNIKASI MASSA

Efek Sosial Komunikasi Massa

Pertumbuhan media massa sebagai perangkat kehidupan baik bagi individu maupun untuk bermasyarakat, turut mengubah masyarakat yang tadinya bersifat agraris menjadi masyarakat kota. Pada saat yang sama, pertumbuhan menuju masyarakat yang bersifat urban itu memang membutuhkan sarana dan aktivitas komunikais yang bersifat modern, yakni komunikasi massa.

Teori yang Menjelaskan Peniruan dari Media Massa

Aktivitas dan isi dari komunikasi massa turut membentuk masyarakat massa. Hal ini karena sebagian dari isi yang dikandung dan disebarluaskan oleh media massa adalah apa yang dikenal sebagai budaya massa.

Budaya massa pada saat ini lebih banyak menghasilkan seni yang ringan dan hal-hal yang tak mungkin. Akibatnya orang cenderung menyukai karya yang ringan-ringan. Hal ini berakibat timbul penggolongan budaya tinggi dan budaya rendah. Peran media massa dalam hal ini sangat besar, ditunjang pula dengan adanya publisitas, iklan dan reportase.


MEDIA MASSA DAN PROSES SOSIALISASI

Media Massa dan Proses Sosialisasi

Tanpa mengikari fungsi dan maafaat media massa dalam kehidupan masyarakat, disadari adanya sejumlah efek sosial negatif yang ditimbulkan oleh media massa. Karena itu media massa dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya pergeseran nilai-nilai dan perilaku di tengah masyarakat seperti menurunnya tingkat selera budaya, meningkatnya kejahatan, rusaknya moral dan menurunnya kreativitas yang bermutu.

Efek negatif yang ditimbulkan oleh media massa terutama dalam hal delinkuensi dan kejahatan bersumber dari besarnya kemungkinan atau potensi pada tiap anggota masyarakat untuk meniru apa-apa yang disaksikan ataupun diperoleh dari media massa. Pengenaan (exposure) terhadap isi media massa memungkinkan khalayak untuk mengetahui sesuatu isi media massa, kemudian dipengaruhi oleh isi media tersebut. Bersamaan dengan itu memang terbentang pula harapan agar khalayak meniru hal-hal yang baik dari apa yang ditampilkan media massa.

Hampir setiap hari umumnya masyarakat dihadapkan pada berita dan pembicaraan yang menyangkut perilaku kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan dan bentuk-bentuk yang lain. Akibat logis dari keadaan tersebut bahwa segala sesuatu yang digambarkan serta disajikan kepada masyarakat luas dapat membantu dan mengembangkan kemampuan menentukan sikap pada individu-individu di tengah masyarakat dalam menentukan pilihan mengenai apa yang patut ditempuhnya untuk kehidupan sosial mereka.

Pemberian masalah kejahatan melalui media massa mempunyai aspek positif dan negatif. Pengaruh media massa yang bersifat halus dan tersebar (long term impact) terhadap perilaku seolah-olah kurang dirasakan pengaruhnya, padahal justru menyangkut masyarakat secara keseluruhan.

Hasil dari berbagai penelitian menyatakan bahwa efek langsung komunikasi massa pada sikap dan perilaku khalayaknya, kecil sekali, atau belum terjangkau oleh teknik-teknik pengukuran yang digunakan sekarang.

Media Massa sebagai Agen Sosialisasi

Kemungkinan dan proses bagaimana terjadinya peniruan terhadap apa yang disaksikan atau diperoleh dari isi media massa dapat dipahami melalui beberapa teori. Yang pertama adalah teori peniruan atau imitasi. Kemudian teori berikutnya tentang proses mengidentifikasi diri dengan seseorang juga menjelaskan hal yang sama. Sedangkan teori social learning mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong khalayak untuk belajar dan mampu berbuat sesuatu yang diperolehnya dari interaksi sosial di tengah masyarakat.

Memang teori-teori tadi belum tuntas sepenuhnya dalam memaparkan perihal peniruan terhadap isi media massa. Namun konsep-konsep pokok yang diajukan oleh masing-maisng teori itu kurang lebih dapat membantu kita untuk memahami terjadinya peniruan yang dimaksud dalam hubungan bahasan kita di sini yang merupakan faktor penting dari efek sosial yang ditimbulkan oleh media massa.

Studi pertama tentang efek TV yang dilakukan dengan lengkap adalah yang disebut Payne Fund Studies Film and their Effect on Children, yang berlangsung selama empat tahun 1929-1932. Hasil studi ini sebanyak dua belas jilid telah diterbitkan oleh Macmillan di antara tahun 1933-1935.

Pada tahun 1961, UNESCO menerbitkan sebuah bibliografi beranotasi The Influence of the Cinema on Children and Adolescent yang berisikan 491 buku, artikel dan jurnal.

Charters (1934) mengemukakan bahwa pada tahun 1930, tiga tema besar film yang dipertunjukkan adalah: cinta (29,6%), kejahatan (27,4 %) dan seks (15,0%). Ke dalam kategori kejahatan yang 27,4% itu, terutama isinya adalah mengenai: pemerasan, extortion, penganiayaan, dendam dan pembalasan.


MEDIA MASSA DAN WANITA
Media Massa dan Persepsi tentang Gender

Proses sosialisasi yang dilalui oleh setiap anggota masyarakat ada yang berlangsung secara formal, yaitu melalui sekolah dan pendidikan lainnya. Tapi adapula yang berbentuk informal yaitu yang diperoleh melalui keluarga, kerabat, dan pergaulan dengan teman sebaya.

Media massa dapat berperan dalam proses sosialisasi itu baik yang informal, yaitu ketika media dikonsumsi dalam situasi dan untuk keperluan di rumah. Namun media dapat pula berperan dalam sosialisasi formal, yakni ketika mengikuti pendidikan melalui media atau apa yang disebut sebagai pendidikan jarak jauh
Stereotip Wanita dalam Media Massa

Media massa memberikan banyak hal yang dapat diserap oleh setiap anggota masyarakat antara lain ikut membentuk perilaku anggota masyarakat tersebut. Proses ini sebenarnya sudah dimulai pada permulaan kehidupan seseorang adalah keluarga, sekolah tempat kerja lingkungan sosial dan media massa. Keluarga adalah sumber pertama, karena dari keluargalah, seseorang mendapatkan nilai-nilai dan norma-norma dalam hidupnya.

Komunikasi dan Self-disclosure

Dalam berkomunikasi dengan sesamanya, manusia pada dasarnya melakukan pengungkapan diri. Namun, pengungkapan diri tersebut, mungkin saja baru sampai pada sisi-sisi terluar dari dirinya. Ketika situasi komunikasi antarpribadi terbentuk dan pelaku komunikasi berkeinginan mempengaruhi jalannya komunikasi, self-disclosure berlangsung. Apalagi apabila komunikasi antarpribadi itu merupakan komunikasi di antara dua orang (dyadic) yang sudah akrab maka self-disclosure itu akan berlangsung hingga bisa tersingkapkan bagian-bagian diri yang terdalam.

Seperti sudah diungkapkan sebelumnya, self-disclosure itu bersifat timbal balik atau ada juga yang menyatakan, dalam komunikasi, self-disclosure itu bersifat simetris. Masing-masing orang yang terlibat dalam komunikasi itu akan saling menyingkapkan dirinya. Apabila saja salah satu pihak yang berkomunikasi itu tidak membuka dirinya maka self-disclosure tidak akan bisa berlangsung.

Berkaitan dengan situasi komunikasi antarpribadi yang berlangsung karena keakraban dan self-disclosure pun berlangsung karena keakraban di antara pihak-pihak yang terlibat, dengan sendirinya self-disclosure pun tak mungkin berlangsung di antara orang yang saling bermusuhan, saling mencurigai atau sedang berkonflik. Dalam situasi bermusuhan atau saling mencurigai, orang akan saling menutup diri. Begitu juga dalam situasi konflik akan bertahan pada posisinya masing-masing sehingga tidak memungkinkan terjadinya self-disclosure.

Oleh karena itu, banyak yang menggunakan pendekatan self-disclosure untuk membangun keakraban dalam kelompok atau dalam upaya mengatasi konflik. Salah satu pihak yang terlibat konflik berusaha melakukan self-disclosure dan mengajak lawan konfliknya untuk melakukan hal yang serupa. Dengan cara demikian, bisa dibangun saling percaya dan akhirnya saling membuka diri sehingga komunikasi bisa berlangsung. Terjadilah pertukaran gaul, pertukaran kata, pertukaran pikiran, dan pertukaran hati. Terbangunnya relasi yang positif di antara pihak-pihak yang terlibat menjadi dasar terbangunnya komunikasi antarpribadi yang positif pula melalui self-disclosure.
Hal penting lain yang perlu diperhatikan, self-disclosure itu tidak akan pernah terjadi begitu saja atau mendadak terjadi. Ada proses dan tahapan yang dilalui. Katakanlah mirip dengan cara kita membuka kulit bawang yang diilustrasikan melalui Gambar 3.2 di atas. Secara bertahap orang memasuki kondisi self-disclosure yang lebih mendalam. Apabila hubungan di antara orang yang berkomunikasi berlangsung stabil maka self-disclosure pun akan mengarah pada kondisi yang stabil. Perkembangan tersebut berlangsung secara bertahap.

Dengan demikian, bisa kita nyatakan self-disclosure merupakan salah satu bagian penting dalam membangun komunikasi antarpribadi. Dengan self-disclosure orang bisa saling mengokohkan keakraban dan membangun saling percaya. Keakraban dan saling percaya itu, sangat penting dalam membangun komunikasi antarpribadi yang saling mendukung dan memberikan manfaat positif bagi pihak-pihak yang berkomunikasi. Namun masalahnya, pada masyarakat modern yang kian individualistik, justru keakraban itu makin lenyap sehingga salah satu krisis yang dihadapi manusia modern adalah krisis komunikasi antarpribadi (lihat, Joseph, 1986:41). Oleh karena itu, self-disclosure yang positif diperlukan dan komunikasi antarpribadi yang memungkinkan pengembangan diri masing-masing bisa berlangsung dengan baik.

Teori-teori dalam Kepemimpinan

Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan kepemimpinan. Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang terencana dan sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori tentang kepemimpinan.

Teori kepemimpinan merupakan penggeneralisasian suatu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab-sebab timbulnya kepemimpinan, persyaratan pemimpin, sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya serta etika profesi kepemimpinan (Kartini Kartono, 1994: 27).

Teori kepemimpinan pada umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan dan interpretasi mengenai pemimpin dan kepemimpinan dengan mengemukakan beberapa segi antara lain :

Latar belakang sejarah pemimpin dan kepemimpinan
Kepemimpinan muncul sejalan dengan peradaban manusia. Pemimpin dan kepemimpinan selalu diperlukan dalam setiap masa.

Sebab-sebab munculnya pemimpin
Ada beberapa sebab seseorang menjadi pemimpin, antara lain:

a.Seseorang ditakdirkan lahir untuk menjadi pemimpin.
Seseorang menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri
b.Seseorang menjadi pemimpin bila sejak lahir ia memiliki bakat kepemimpinan kemudian dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman serta sesuai dengan tuntutan lingkungan

Syarat-syarat kepemimpinan
Konsepsi mengenai persyaratan kepemimpinan selalu dikaitkan dengan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan.

Tipe dan gaya kepemimpinan
Pemimpin mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang khas, sehingga tingkah laku dan gayanya berbeda dari orang lain.

Teori-teori dalam kepemimpinan pada umumnya menunjukkan perbedaan karena setiap teoritikus mempunyai segi penekanannya sendiri yang dipandang dari satu aspek tertentu.

Teori-teori dalam Kepemimpinan

1. Teori Sifat

Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya. Ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut Sondang P Siagian (1994:75-76) adalah:

- pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas, obyektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, orientasi masa depan;
- sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif, kesediaan menjadi pendengar yang baik, kapasitas integratif;
- kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang, analitik, menentukan skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting, keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif.

Walaupun teori sifat memiliki berbagai kelemahan (antara lain : terlalu bersifat deskriptif, tidak selalu ada relevansi antara sifat yang dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan) dan dianggap sebagai teori yang sudah kuno, namun apabila kita renungkan nilai-nilai moral dan akhlak yang terkandung didalamnya mengenai berbagai rumusan sifat, ciri atau perangai pemimpin; justru sangat diperlukan oleh kepemimpinan yang menerapkan prinsip keteladanan.

2. Teori Perilaku

Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin mempunyai deskripsi perilaku:

a. konsiderasi dan struktur inisiasi

Perilaku seorang pemimpin yang cenderung mementingkan bawahan memiliki ciri ramah tamah,mau berkonsultasi, mendukung, membela, mendengarkan, menerima usul dan memikirkan kesejahteraan bawahan serta memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula kecenderungan perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi.

b. berorientasi kepada bawahan dan produksi

perilaku pemimpin yang berorientasi kepada bawahan ditandai oleh penekanan pada hubungan atasan-bawahan, perhatian pribadi pemimpin pada pemuasan kebutuhan bawahan serta menerima perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku bawahan. Sedangkan perilaku pemimpin yang berorientasi pada produksi memiliki kecenderungan penekanan pada segi teknis pekerjaan, pengutamaan penyelenggaraan dan penyelesaian tugas serta pencapaian tujuan.

Pada sisi lain, perilaku pemimpin menurut model leadership continuum pada dasarnya ada dua yaitu berorientasi kepada pemimpin dan bawahan. Sedangkan berdasarkan model grafik kepemimpinan, perilaku setiap pemimpin dapat diukur melalui dua dimensi yaitu perhatiannya terhadap hasil/tugas dan terhadap bawahan/hubungan kerja.

Kecenderungan perilaku pemimpin pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan (JAF.Stoner, 1978:442-443)

3. Teori Situasional

Keberhasilan seorang pemimpin menurut teori situasional ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Faktor situasional yang berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan tertentu menurut Sondang P. Siagian (1994:129) adalah

* Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas;
* Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan;
* Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan;
* Norma yang dianut kelompok;
* Rentang kendali;
* Ancaman dari luar organisasi;
* Tingkat stress;
* Iklim yang terdapat dalam organisasi.

Efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kemampuan “membaca” situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar cocok dengan dan mampu memenuhi tuntutan situasi tersebut. Penyesuaian gaya kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu.

Sehubungan dengan hal tersebut berkembanglah model-model kepemimpinan berikut:

a. Model kontinuum Otokratik-Demokratik

Gaya dan perilaku kepemimpinan tertentu selain berhubungan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, juga berkaitan dengan fungsi kepemimpinan tertentu yang harus diselenggarakan. Contoh: dalam hal pengambilan keputusan, pemimpin bergaya otokratik akan mengambil keputusan sendiri, ciri kepemimpinan yang menonjol ketegasan disertai perilaku yang berorientasi pada penyelesaian tugas.Sedangkan pemimpin bergaya demokratik akan mengajak bawahannya untuk berpartisipasi. Ciri kepemimpinan yang menonjol di sini adalah menjadi pendengar yang baik disertai perilaku memberikan perhatian pada kepentingan dan kebutuhan bawahan.

b. Model ” Interaksi Atasan-Bawahan” :

Menurut model ini, efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada interaksi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya dan sejauhmana interaksi tersebut mempengaruhi perilaku pemimpin yang bersangkutan.

Seorang akan menjadi pemimpin yang efektif, apabila:

* Hubungan atasan dan bawahan dikategorikan baik;
* Tugas yang harus dikerjakan bawahan disusun pada tingkat struktur yang tinggi;
* Posisi kewenangan pemimpin tergolong kuat.

c. Model Situasional

Model ini menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa bawahan. Dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam model ini adalah perilaku pemimpin yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasan-bawahan. Berdasarkan dimensi tersebut, gaya kepemimpinan yang dapat digunakan adalah

* Memberitahukan;
* Menjual;
* Mengajak bawahan berperan serta;
* Melakukan pendelegasian.

d. Model ” Jalan- Tujuan ”

Seorang pemimpin yang efektif menurut model ini adalah pemimpin yang mampu menunjukkan jalan yang dapat ditempuh bawahan. Salah satu mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut yaitu kejelasan tugas yang harus dilakukan bawahan dan perhatian pemimpin kepada kepentingan dan kebutuhan bawahannya. Perilaku pemimpin berkaitan dengan hal tersebut harus merupakan faktor motivasional bagi bawahannya.

e. Model “Pimpinan-Peran serta Bawahan” :

Perhatian utama model ini adalah perilaku pemimpin dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan. Perilaku pemimpin perlu disesuaikan dengan struktur tugas yang harus diselesaikan oleh bawahannya.

Salah satu syarat penting untuk paradigma tersebut adalah adanya serangkaian ketentuan yang harus ditaati oleh bawahan dalam menentukan bentuk dan tingkat peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan. Bentuk dan tingkat peran serta bawahan tersebut “didiktekan” oleh situasi yang dihadapi dan masalah yang ingin dipecahkan melalui proses pengambilan keputusan.

Meningkatkan Efektivitas Kepemimpinan

Usaha mencari perpaduan terbaik untuk menjadi seorang pemimpin yang sukses tidaklah mudah. Dan, usaha untuk bisa menemukan nilai, gaya dan aktivitas atau apa pun yang relevan untuk disebut sebagai pemimpin yang sukses merupakan proses yang panjang.

Ada pemimpin yang sukses karena mampu bertindak sebagai seorang pengarah tugas, pendorong yang kuat, dan berorientasi pada hasil sehingga mendapatkan nilai kepemimpinan yang tinggi. Ada pemimpin yang sukses karena mampu memberi wewenang kepada para pegawainya untuk membuat keputusan dan bebas memberikan saran, mampu menciptakan jenis budaya kerja yang mendorong serta menunjang pertumbuhan. Pendeknya, untuk menjadi pemimpin yang sukses haruslah memiliki dorongan yang kuat dan integritas yang tinggi.

Kepemimpinan adalah sebuah proses yang melibatkan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dengan memberi kekuatan motivasi, sehingga orang tersebut dengan penuh semangat berupaya menuju sasaran. Ahli manajemen, Peter F Drucker secara khas memandang kepemimpinan adalah kerja. Seorang pemimpin adalah mereka yang memimpin dengan mengerjakan pekerjaan mereka setiap hari. Pemimpin terlahir tidak hanya dalam hirarki managerial, tetapi juga dapat terlahir dalam kelompok kerja non formal.

Ada sejumlah pedoman dasar untuk menjadi pemimpin yang efektif. Pertama, keluwesan. Pemimpin yang luwes memiliki potensi menjadi efektif dalam sejumlah situasi. Kemampuan setiap pemimpin untuk mengubah gayanya pada situasi yang berbeda, akan berbeda-beda. Dengan kata lain, efektivitas pemimpin tergantung pada bagaimana gaya kepemimpinan mereka saling berkaitan dengan keadaan atau situasi. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan gaya mereka dengan kebutuhan situasi. Namun dalam situasi arus kerja yang rutin, terstruktur dan mantap, keluwesan kepemimpinan menjadi tidak begitu penting.

Kedua, berorientasi pada pencapaian. Pemimpin dituntut untuk mampu menetapkan sasaran menantang dan menunjukkan kepercayaan diri bahwa mereka dapat mempercayainya. Dalam hal ini pemimpin adalah seseorang yang menjadi kunci dalam menimbulkan motivasi, kepuasan dan kinerja bawahan yang lebih baik. Mampu mempengaruhi jalur antara perilaku bawahan dan sasaran. Pada batas tertentu, pemimpin adalah seorang pelatih yang merencanakan jalur realistik bagi tim. Bawahan yang mengerjakan tugas pekerjaan tak rutin dan bekerja untuk pemimpin yang berorientasi pada pencapaian merasa lebih yakin bahwa upaya mereka akan menyebabkan kinerja yang lebih baik.

Ketiga, partisipasi. Dalam hal ini pemimpin bertindak untuk meminta, menerima dan menggunakan saran bawahan untuk membuat keputusan. Partisipasi lebih menekankan pada upaya meningkatkan peluang bagi kepuasan pribadi bawahan. Membantu upaya bawahan untuk mencapai sasaran, menolong mengurangi rintangan yang mengecewakan dalam upaya mencapai sasaran dan memberi penghargaan atas pencapaian sasaran.

Keempat, transformasional. Dalam hal ini pemimpin dituntut untuk mampu mendorong semangat, menggunakan nilai-nilai, kepercayaan dan kebutuhan bawahan untuk menyelesaikan tugas. Dan mampu melakukan dalam situasional yang sangat cepat berubah atau situasi yang penuh krisis. Dengan kata lain mampu menampilkan atau menciptakan kepemimpinan yang kharismatik, penuh inspirasi, stimulasi intelektual dan perasaan bahwa setiap bawahan diperhitungkan.

Apa yang diharapkan seorang manajer dari bawahannya, dan caranya mempertahan kan mereka sebagian besar menentukan kinerja dan kemajuan karir mereka. Suatu karakteristik untuk manajer yang unggul adalah kemampuan mereka menciptakan harapan kinerja tinggi, yang dapat dipenuhi oleh bawahannya. Menjadi pemimpin yang efektif haruslah dapat menyesuaikan diri yaitu dapat mendelegasikan wewenang secara efektif karena mempertimbangkan kemampuan mereka, kemampuan bawahan dan tujuan yang harus diselesaikan.

Ada beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Pertama, persepsi yang tepat. Persepsi memainkan peran dalam mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Para manajer yang memiliki persepsi yang keliru terhadap pegawainya mungkin kehilangan peluang untuk mencapai hasil optimal. Oleh karenanya ketepatan persepsi manajerial sangat penting, dan hal itu begitu penting pada setiap model situasional.

Kedua, tingkat kematangan. Pemimpin dituntut untuk berkemampuan dan berkemauan mengambil tanggung jawab untuk mengarahkan perilaku mereka sendiri dengan memperhatikan tingkat kematangan dalam pengetahuan, keahlian dan pengalaman untuk melaksanakan pekerjaan tanpa pengawasan ketat dan juga kemauan untuk melaksanakan pekerjaan itu. Bagaimana pun, bawahan harus diberi perhatian serius ketika membuat pertimbangan tentang gaya kepemimpinan yang dapat mencapai hasil yang diinginkan.

Ketiga, penilaian yang tepat terhadap tugas. Para pemimpin harus mampu menilai dengan tepat tugas yang dilaksanakan oleh bawahan. Dalam situasi tugas yang tidak terstruktur, kepemimpinan otokratik mungkin sangat tidak sesuai. Para bawahan memerlukan garis petunjuk, bebas bertindak, dan sumber daya untuk menyelesaikan tugas itu. Pemimpin harus dapat dengan tepat menentukan kekurangan tugas bawahan sehingga pilihan gaya kepemimpinan yang layak harus dilakukan. Karena tuntutan ini, seorang pemimpin harus memiliki beberapa pengetahuan teknik tentang pekerjaan itu dan syarat-syaratnya.

Keempat, latar belakang dan pengalaman. Di sini ditegaskan bahwa latar belakang dan pengalaman pemimpin mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinan. Seseorang yang telah memperoleh keberhasilan karena berorientasi kepada hubungan mungkin akan meneruskan penggunaan gaya ini. Demikian juga, seorang pemimpin yang tidak percaya kepada para bawahannya dan telah menyusun tugas bertahun-tahun akan menggunakan gaya otokratik.

Kelima, harapan dan gaya pemimpin. Pemimpin senang dengan dan lebih menyukai suatu gaya kepemimpinan tertentu. Seorang pemimpin yang memilih pendekatan yang berorientasi pada pekerjaan, otokratik, mendorong keberanian bawahan mengambil pendekatan yang sama. Peniruan model pemimpin merupakan kekuatan untuk membentuk gaya kepemimpinan. Karena pemimpin memiliki berbagai landasan kekuasaan, maka harapan mereka adalah penting.

Keenam, hubungan seprofesi. Pemimpin membentuk hubungan dengan pemimpin yang lain. Hubungan seprofesi ini digunakan untuk tukar menukar pandangan, gagasan, pengalaman, dan saran-saran. Teman seprofesi seorang pemimpin dapat memberikan dukungan dan dorongan semangat bagi berbagai perilaku kepemimpinan, sehingga mempengaruhi pemimpin itu pada waktu yang akan datang. Teman-teman seprofesi merupakan sumber penting tentang perbandingan dan informasi dalam membuat pilihan dan perubahan gaya kepemimpinan.

Para manajer saat ini menghadapi situasi yang sulit, di mana kecepatan laju globalisasi yang meningkat dengan cepat. Akibatnya kegiatan kepemimpinan menjadi begitu rumit dalam situasi bahwa armada kerja adalah majemuk, sehingga efektivitas kepemimpinan sangat diperlukan dalam menjawab tantangan ke depan. Persoalannya sekarang adalah mampukah para manajer meningkatkan efektivitas kepemimpinannya sehingga dapat menjadi lebih kompetitif.

Pengantar Ilmu Administrasi Negera

Pengantar Ilmu Administrasi Negera

Bag 2

Studi Perilaku dan Sumber Daya

  1. Pandangan filosofi mengenai administrasi negara dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: pandangan makro dan pandangan mikro.

  2. Etika administrasi dibahas dalam hubunganya dengan masalah tujuan dan cara yang diperlakukan dalam lingkungan birokrasi. Etika administrasi dimak-sudkan untuk mendorong agar birokrat menampilkan perilaku yang benar dan berguna.

  3. Studi perilaku administrasi berguna:
    a. menunjukkan apa yang harus dilakukan pada satu situasi tertentu;
    b. memberikan deskripsi lingkungan di mana organisasi bergerak;
    c. memberikan kerangka konseptual untuk memecahkan masalah-masalah organisasi

  4. Perhatian pada elemen manusia ditujukan untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan organisasi dan individu. Kecenderungan baru yang terdapat dalam administrasi kepegawaian adalah dorongan menumbuhkan partisipasi para pekerja dalam proses pembuatan keputusan.

  5. Administrasi keuangan pada tingkat nasional dipandang sebagai issue politik dan sosial. Administrasi keuangan merupakan alat paling penting dalam kehidupan negara. Karena kemampuannya untuk berfungsi sebagai alat koordinasi.


Studi Perbandingan dan Pengembangan

  1. Administrasi Pemerintah Daerah berusaha menganalisis pemerintah daerah sebagai fenomena ad inistrasi, sebagai satu bagian penting dalam kehidupan kenegaraan, di mana sistem administrasi pemerintah daerah amat dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional faktor-faktor lingkungan.

  2. Perbandingan Administrasi Negara sebagai pendatang baru dalam dunia akademik kelahirannya didorong untuk mencapai dua tujuan sekaligus, yakni: untuk memberikan bobot ilmiah bagi administrasi negara, dan untuk membuat agar semua program bantuan teknis berhasil.

  3. Kegiatan-kegiatan dalam rangka studi Organisasi dan Metode meliput tiga hal berikut: penyelidikan organisasi, penyempurnaan metode, dan penelaahan tata ruang.

  4. Usaha pengembangan/pelembagaan organisasi adalah suatu usaha untuk memperbaiki efektivitas dan kesehatan organisasi dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan perilaku. Pengembangan/pelembagaan organisasi dipandang sebagai analisis segi kemanusiaan dalam seluruh kehidupan organisasi.

  5. Perkembangan masyarakat yang semakin kompleks mendorong tumbuhnya studi administrasi terhadap bidang-bidang khusus. Tujuannya adalah untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi.


MASALAH TEORI ADMINISTRASI NEGARA

Pengertian Teori Administrasi Negara

  1. Yang dimaksudkan dengan teori administrasi negara adalah serangkaian usaha untuk melakukan konseptualisasi mengenai apakah yang dimaksudkan dengan administrasi negara, bagaimana caranya memperbaiki hal-hal yang dikerjakan oleh administrasi negara, bagaimana menentukan apa yang harus dikerjakan oleh administrator publik, mengapa orang berperilaku tertentu dalam suatu situasi administrasi, dan dengan cara apakah aparatur pemerintah disusun dan dikoordinasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

  2. Salah satu alasan utama mengapa orang mempersoalkan status keilmuan administrasi negara, adalah karena administrasi negara tidak mempunyai inti-teoritis. Banyak teori dalam administrasi negara, tetapi tidak ada teori dari administrasi negara.

  3. Para praktisi menggunakan teori administrasi dalam kerangka untuk memberikan rasionale (alasan) dari kegiatan praktis mereka dan untuk membenarkan praktek administrasinya.

  4. Administrasi negara baru saja, secara sistematik, mengembangkan teori-teorinya. Arti pentingnya teori administrasi negara terlihat dari kegunaannya untuk meramalkan dan menerangkan gejala administrasi.


Jenis-jenis Teori Administrasi Negara

  1. Ada berbagai macam teori administrasi negara yang dikemukakan oleh para ahli. Misalnya yang diajukan oleh:
    a) William L Morrow, yang menyebutkan teori administrasi negara terdiri dari:

    1. teori deskriptif

    2. teori preskriptif

    3. teori normatif

    4. teori asumtif

    5. teori instrumental


    b) Stephen P. Robbins, yang mengajukan lima teori administrasi, sebagai berikut:

    1. teori hubungan manusia

    2. teori pengambilan keputusan

    3. teori perilaku

    4. teori sistem

    5. teori kontingensi


    c) Stephen K. Bailey, mengajukan empat teori administrasi negara, sebagai berikut:

    1. teori deskriptif

    2. teori normatif

    3. teori asumtif

    4. teori instrumental

  2. Empat kategori teori administrasi negara yang dikemukakan oleh Bailey, diangkat dari upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki proses pemerintahan. Setiap kategori teori tersebut mempunyai pusat perhatian yang berbeda satu sama lain. Teori deskriptif berkaitan dengan soal “apa” dan “mengapa”; teori normatif berkenaan dengan soal “apa yang seharusnya” dan “apa yang baik”; teori asumtif berhubungan dengan soal “pre-kondisi” dan “kemungkinan-kemungkinan”; sedangkan teori instrumental berkenaan dengan soal “bagaimana”dan “kapan”.


Mazhab-mazhab Teori Administrasi Negara

  1. Menurut C.L. Sharma ada enam mazhab teori administrasi negara, yakni: mazhab proses administrasi, empirik, perilaku manusia, sistem sosial, matematika, dan teori keputusan.

  2. Gerald Caiden mengemukakan delapan mazhab teori administrasi negara, yang terdiri dari: mazhab proses administrasi, empirik, perilaku manusia, analisis birokratik, sistem sosial, pembuatan keputusan, matematika, dan integrasi.

  3. Kedelapan mazhab teori administrasi negara seperti yang dikemukakan oleh Caiden, sebenarnya dapat dikelompokkan lagi dalam dua mazhab: mazhab reduksi proses administrasi dan mazhab sistem holistik administrasi. Tetapi pengelompokan ini juga tidak memuaskan, yang pada gilirannya melahirkan mazhab integrasi.

  4. Para pendukung mazhab integrasi (integrationis) bermaksud untuk mengintegrasikan semua teori administrasi negara. Ada dua strategi yang mereka tempuh. Pertama dengan melakukan konsolidasi teori-teori administrasi, dan kedua dengan meleburkan semua administrasi negara menjadi satu teori yang tertinggi.


KEBIJAKSANAAN PUBLIK DAN AKUNTABILITAS ADMINISTRASI

Dasar-dasar Kebijaksanaan Publik

  1. Studi kebijaksanaan publik merupakan dimensi baru dalam administrasi negara, yang harus tumbuh dengan cepat.

  2. Pada umumnya kebijaksanaan publik dimaksudkan sebagai apa yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Ada tiga faktor yang mengeratkan hubungan kebijaksanaan publik dengan institusi pemerintah:
    a. Pemerintah yang memberikan legitimasi pada kebijaksanaan publik
    b. Kebijaksanaan publik mengandung aspek yang bersifat universal
    c. Pemerintah merupakan satu-satunya lembaga yang dapat melakukan pemaksaan kepada masyarakat.

  3. Dasar pembentukan kebijaksanaan publik adalah kepentingan publik. Tetapi, tidak mudah untuk merumuskan apa dan manakah suatu kepentingan yang benar-benar bersifat publik. Karena itu, dikatakan bahwa kepentingan publik adalah kepentingan-kepentingan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Atas dasar pandangan demikian, kebijaksanaan publik tidak hanya dibuat oleh pemerintah saja, tetapi dapat juga dibuat oleh organisasi-organisasi lain.

  4. Model-model analisis yang dipergunakan untuk menganalisis kebijaksanaan publik menurut Thomas R. Dye adalah model:
    a. Sistem
    b. Massa Elit
    c. Kelompok
    d. Rasional
    e. Inkremental
    f. Institusional.

    Sedang menurut Robert Presthus pendekatan-pendekatan dalam analisis kebijaksanaan publik terdiri dari:
    a. Kebijaksanaan sebagai Proses Hasil
    b. Studi Kasus
    c. Strategi Inkremental Terpisah
    d. Kebijaksanaan sebagai, variabel Independen.

Proses Kebijaksanaan Publik

  1. Tahap yang ada dalam proses kebijaksanaan publik, menurut Anderson terdiri dari: formasi masalah, formulasi kebijaksanaan, adopsi kebijaksanaan, implementasi kebijaksanaan, dan evaluasi kebijaksanaan; menurut Jones proses kebijaksanaan publik terdiri dari: persepsi, definisi, agregasi, organisasi, evaluasi, dan terminasi kebijaksanaan; menurut Brewer tahap-tahap dalam proses kebijaksanaan publik adalah: estimasi, seleksi, implementasi, evaluasi dan terminasi kebijaksanaan; menurut Mc Nichols proses kebijaksanaan publik terdiri dari: tahap formulasi, tahap implementasi, tahap organisasi, tahap interpretasi, dan tahap reformulasi. Modul ini memandang proses kebijaksanaan publik terdiri dari empat tahap berikut: formulasi kebijaksanaan, implementasi kebijaksanaan, evaluasi kebijaksanaan, dan terminasi kebijaksanaan.

  2. Formulasi kebijaksanaan membahas cara masalah publik memperoleh perhatian dari pembuat kebijaksanaan, cara perumusan usul kebijaksanaan, dan cara memilih salah satu usul kebijaksanaan di antara alternatif-alternatif. Formulasi kebijaksanaan sangat erat hubungannya dengan konsep kepentingan publik.

  3. Implementasi kebijaksanaan menunjuk pada pelaksanaan kebijaksanaan publik secara etektif. Kesulitan yang timbul dalam tahap ini adalah sukarnya menentukan hasil kebijaksanaan, karena adanya dampak yang tidak teran-tisipasi sebelumnya.

  4. Evaluasi kebijaksanaan dimaksudkan untuk mengukur efektifitas dan dampak kebijaksanaan. Alat yang dapat dipergunakan antara lain “performance budgeting”, “program budgeting” dan PPBS. Untuk melaksanakan evaluasi kebijaksanaan diperlukan standar pengukuran yang baku. Tetapi dalam kenyataannya indikator-indikator yang dipergunakan tidak sepenuhnya mampu menerangkan kualitas penampilan program.

  5. Terminasi kebijaksanaan menunjuk proses penyelesaian satu kebijaksanaan. Hal ini timbul, jika tujuan kebijaksanaan sudah tiada. Ada pelbagai hambatan dalam melakukan terminasi kebijaksanaan. Cara-cara untuk mengatasi hambatan ini adalah kebijaksanaan memberikan rangsangan, dan melakukan identifikasi terhadap titik rawan yang mengalami terminasi.


Akuntabilitas Administrasi

  1. Ada dua istilah yang seringkali digunakan saling berganti dalam studi administrasi negara, yakni: pertanggungan jawab dan akuntabilitas. Sebenarnya, keduanya dapat dibedakan. Akuntabilitas menunjuk locus hierarkis dan legal dari tanggung jawab. Sedang tanggung jawab mempunyai konotasi personal, moral, dan tidak perlu dihubungkan dengan peranan, status, dan kekuasaan yang bersifat formal.

  2. Akuntabiiitas administrasi merupakan hal pokok dalam pikiran-pikiran negara demokratik modern. Ia mengesankan sebagai suatu dasar moral bagi pejabat publik dalam melakukan kegiatannya.

  3. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai apakah sistem administrasi berjalan secara bertanggung jawab. Pendekatan pertama memusatkan perhatiannya pada keseluruhan sistem; sedangkan pendekatan kedua berfokus pada pertanggungan jawab individual.

  4. Sarana yang dapat dipergunakan untuk menjamin administrasi yang bertang-gung jawab adalah: sarana legal/institusional, moral dan politik.


SISTEM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA


Pemikiran Sistem

  1. Teori sistem merupakan kerangka konseptual atau satu cara pendekatan yang dipergunakan untuk menganalisis lingkungan atau gejala yang bersifat kompleks dan dinamis.

  2. Pendekatan sistem, pertama melihat sesuatu secara keseluruhan. Baru kemudian mengamati bagian-bagiannya (sub-subsistem); di mana bagian-bagian (sub-subsistem) itu saling melakukan interaksi dan interrelasi.

  3. Karakteristik sistem menurut Schoderbek terdiri dari: interrelasi, interdependensi, holisme, sasaran, masukan dan keluaran, transformasi, entropi, regulasi, hierarki, diferensiasi, dan ekuifinaliti. Sedang sarjana lain, menunjukkan bahwa karakteristik sistem terdiri dari masukan, proses, keluaran dan umpan balik.

  4. Yang dimaksud dengan sistem administrasi negara adalah “struktur untuk mengalokasikan barang dan jasa dalam satu pemerintahan”. Karakteristik sistem administrasi negara terdiri dari masukan, proses/konversi, keluaran, dan umpan balik.

  5. Studi ekologi dalam administrasi negara dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai administrasi negara yang sesuai dengan lingkungan penerimanya. Studi ekologi harus diterjemahkan sebagai satu cara pandang untuk mendekati hubungan sistem administrasi dengan faktor-faktor non-administrasi.


Sistem Administrasi Negara Indonesia

  1. Sistem administrasi negara Indonesia haruslah diterjemahkan sebagai bagian integral dari sistem nasional.

  2. Landasan, tujuan, dan asas sistem administrasi negara adalah sama dengan landasan, tujuan, dan asas sistem nasional, yang tertera dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

  3. Penyempurnaan dan perbaikan terhadap sistem administrasi negara diarahkan untuk memperkuat kapasitas administrasi. Kegiatan ini merupakan satu proses rasionalisasi terhadap sistem administrasi, agar dapat memenuhi fungsinya sebagai instrumen pembangunan dan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.

  4. Selama Orde Baru telah dilakukan usaha-usaha yang konsisten untuk memperbaiki sistem administrasi negara.

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA KEPALA SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU DI SMA NEGERI 1 CISAGA KABUPATEN CIAMIS

Peranan Kepala Sekolah dalam rangka mutu pendidikan sangat penting karena dapat mempengaruhi berhasil dan tidaknya mutu pendidikan itu sendiri. Kepala Sekolah sebagai tulang punggung mutu pendidikan dituntut untuk bertindak sebagai pembangkit semangat, mendorong, merintis dan memantapkan serta sekaligus sebagai administrator. Dengan perkataan lain bahwa Kepala Sekolah adalah salah satu penggerak pelaksanaan manajemen pendidikan yang berkualitas.
Kedudukan Kepala Sekolah khususnya SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis ikut serta mensukseskan tugas pokoknya sesuai dengan fungsinya dalam tugas umum pemerintahan dan pembangunan dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis khususnya dunia pendidikan. Untuk itu peranan motivasi pimpinan dalam meningkatkan kinerja guru dilingkungan SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis sangat dibutuhkan, guna terlaksananya mutu pendidikan.
Dari uraian latar belakang diatas dapat dapat dijadikan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru, Bagaimana pengaruh motivasi kepala sekolah terhadap kinerja guru, serta Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan dan motivasi kepala sekolah terhadap kinerja guru.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi kepala sekolah dalam bentuk insentif sangat mempengaruhi terhadap kinerja guru. Disamping itu juga penghargaan berupa perhatian pimpinan terhadap hasil kerja yang dicapai para guru, dengan ucapan yang menyejukan, membuat guru juga termotivasi dengan baik.
Ada beberapa guru yang merasa dirinya belum termotivasi, hal ini disebabkan hanya karena yang bersangkutan mempunyai masalah di dalam keluarganya, sehingga terbawa dalam pekerjaanya di kantor. Hasil penelitian keseluruhan tentang pengaruh gaya kepemimpinan dalam motivasi kinerja guru yang diberikan baik oleh pimpinan secara keseluruhan sangat menunjang dalam meningkatkan kualitas kerja para guru.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, dan praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management. Dalam konteks school based management, sekolah harus meningkatkan keikutsertaan masyarakat lokal dalam pengelolaannya untuk meningkatkan kualitas dan efisiensinya. Meskipun demikian otonomi pendidikan dalam konteks school based management harus dilakukan dengan selalu mengacu pada accountability (pertanggungjawaban kualitas) terhadap masyarakat, orangtua, siswa, maupun pemerintah pusat dan daerah.
Agar desentralisasi dan otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Dengan proses dan program pemberdayaan, mereka akhirnya harus memiliki kinerja yang profesional dan fungsional. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer yang baik, kepala sekolah harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal dalam mendukung tercapainya tujuan sekolah. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik yang meliputi: (1) perencanaan; (2) pengorganisa-sian; (3) pengarahan; dan (4) pengawasan.
Dari segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinaan transfor-masional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutama-kan pemberian kesempatan dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dsb.) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah. Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional (Luthans, 1995: 358) adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai, (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus sepanjang hayat; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; (7) memiliki visi ke depan. Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagaian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung. Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan antara lain: sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan nilai UAN secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya seko-lah pada proses pembaruan dan inovasi.
Keadaan ini pernah dialami oleh penulis ketika harus melakukan diseminasi classroom action research di sekolah-sekolah. Kepala sekolah yang mengadopsi kepemiminan instruktif-otoritarian tidak selalu bisa memberi peluang kepada penulis untuk mengajak para guru melakukan classroom action research di kelasnya, dengan alasan kegiatan penelitian kelas itu akan mengganggu pencapaian target kurikulum yang telah dicanangkan oleh pusat. Di sisi guru sebenarnya mereka sangat mendamba-kan untuk selalu meningkatkan profesionalisme secara berkelanjutan melalui classroom action research. Sebab mereka sebenarnya mengerti, dengan melakukan penelitian itu para guru akan mampu melakukan refleksi terhadap praktik pembelajaran yang selama ini dilakukannya. Para guru telah dilatih, berhari-hari mengenai cara-cara melakukan classroom action research. Tetapi gara-gara ada kepala sekolah tidak reseptif terhadap inovasi, akhirnya guru harus puas dengan praktik yang bertahun-tahun dilakukan dan dianggap telah baik tanpa ada sistem feedback yang diperolehnya dari penelitian tindakan kelas.
Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan partisipatif transformasional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajar mengajar di sekolahnya, dan de-ngan demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research; Sebab dengan penelitian kelas itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik profesi-onal. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan oleh karena itu mereka dapat selalu meningkatkan profesionalismenya secara berkelanjutan.
Agar proses inovasi di sekolah dapat berjalan dengan baik, kepala sekolah perlu dan harus bertindak sebagai pemimpin (leader), dan bukannya bertindak sebagai boss. Ada perbedaan di antara keduanya. William Glasser (1992) dalam bukunya The Quality School: Managing Students Without Coercion berhasil mengemukakan metapora yang membedakan antara leader dan boss. Perbedaan tersebut dapat kita pahami dari ungkapan-ungkapan metaporik berikut: (1) A boss drives. A leader leads; (2) A boss relies on authority. A leader relies on co-operation; (3) A boss says “I”. A leader says “We”; (4) A boss creates fear. A leader creates confidence; (5) A boss knows how. A leader shows how; (6) A boss creates resentment. A leader breeds enthusiasm; (7) A boss fixes blame. A leader fixes mistakes; (8) A boss makes work drudgery. A leader makes work interesting.
Dengan memahami metapora tersebut, seyogyanya kepemimpinan kepala sekolah harus menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan kekuasaan, sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional; menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerjasama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri; menghindarkan diri dari wacana retorika, sebaliknya perlu membuktikan memiliki kemampuan unjuk kerja profesional; menghindarkan diri dari sifat dengki dan kebencian, seba-liknya harus menumbuhkembangkan antusiasme kerja para guru; menghindarkan diri dari suka menyalahkan guru, tetapi harus mampu membetulkan (mengoreksi) kesalahan guru; dan menghindarkan diri agar tidak menyebabkan pekerjaan guru menjadi membosankan, tetapi sebaliknya justru harus mampu membuat suasana kerja yang membuat guru tertarik dan betah melakukan pekerjaannya. Disamping dituntut untuk terus melakukan motivasi seorang kepala sekolah harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kinerja guru.
Wahjosumidjo ( 1999 : 25 ) mengemukakan pengertian motivasi sebagai konsep manejemen dalam kaitannya dengan kehidupan Sekolah dan kepemimpinan, adalah sebagai berikut : Motivasi adalah dorongan kerja yang timbul pada diri sendiri untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Koswara (1993 : 15 ) mengemukakan keterkaitannya antara motivasi dan semangat kerja pegawai, sebagai berikut : Motivasi merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan peningkatan prestasi kerja dirinya. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa keberhasilan pemimpin diperlukan pengetahuan dan kemampuan menciptakan situasi dan iklim kerja yang kondusif, sehingga menimbulkan motivasi pada guru. Selain memotivasi juga harus mampu memberikan suri tauladan atau contoh yang baik kepada bawahan, guna menumbuh kembangkan prestasi kerja bawahannya.
Pembinaan oleh kepala sekolah dilingkungan Guru SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis telah diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Daerah dan pelaksanaannya, namun masih banyak ditemui hambatan yang menimbulkan masalah dengan berbagai pengaruhnya dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip motivasi, guna meningkatkan prestasi kerja guru seperti disiplin pegawai, dedikasi, loyalitas, dan lain-lainnya.
Guna memecahkan masalah di bidang pembinaan kepala sekolah dilingkungan Guru SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis, acuan penulis gaya kepemimpinan dan motivasi kerja guru yang belum dapat terlaksana secara baik dan sangat berpengaruh kinerja guru adalah sebagai berikut : Penerimaan gaji yang layak, Pemberian insentif yang memadai, Perhatian pimpinan kepada bawahannya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulis mengambil judul yang digunakan dalam Tesis: “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Motivasi Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru di SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis”.

B. Identifikasi Masalah
Dari uraian masalah di atas yaitu pengaruh gaya kepemimpinan dan motivasi kepala sekolah terhadap kinerja guru dengan segala tugas dan tanggungjawabnya, maka diindentifikasi sejumlah permasalahan yang perlu dikaji dan berpengaruh erat dengan kinerja guru di SMA negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis di antaranya :
1. Apakah terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja kepala sekolah ?
2. Apakah terdapat pengaruh antara motivasi kepala sekolah dengan kinerja guru?
3. Apakah terdapat pengaruh antara iklim organisasi di sekolah dengan kinerja guru ?
4. Apakah terdapat pengaruh antara motivasi kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru ?
5. Apakah terdapat pengaruh antara motivasi kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru ?
6. Apakah terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru ?
7. Apakah terdapat pengaruh antara disiplin guru dengan kepuasan kerja guru?
8. Apakah terdapat pengaruh antara pengembangan karir dengan kepuasan kerja guru ?

C. Pembatasan Masalah
Masalah utama penelitian adalah peningkatan kinerja guru sebagai variabel dependen, yang dibatasi pengaruhnya dengan gaya kepemimpinan sebagai variabel independen 1 dan motivasi kepala sekolah sebagai variabel independen 2.

D. Perumusan Masalah.
Perumusan masalah merupakan langkah awal dalam melaksanakan penelitian untuk keperluan penulisan tesis yang dilakukan dengan melihat fakta, gejala atau tanda-tanda yang menunjukan adanya penyimpangan, ketidakkonsisten, kesenjangan dalam praktek kepemimpinan kepala sekolah.
Melihat kenyataan yang cenderung semakin menunjukan adanya kebiasaan berperilaku yang kurang baik pada guru SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis, penulis dapat menyimpulkan masalah-masalahnya sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan dengan kinerja Guru ?
2. Apakah terdapat pengaruh antara motivasi kerja guru dengan kinerja Guru ?
3. Apakah terdapat pengaruh gaya kepemimpinan dan motivasi kerja guru terhadap kinerja guru SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis ?

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan dan motivasi keja guru terhadap kinerja guru di SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang pemikiran dalam pengembangan ilmu Manajemen Pendidikan pada umumnya dan khususnya terhadap pengaruh gaya kepemimpinan dan motivasi keja guru terhadap kinerja guru di SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis.
b. Bagi Sekolah SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis
Memberikan konstribusi pemikiran dalam rangka mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan dan motivasi keja guru terhadap kinerja guru di SMA Negeri 1 Cisaga Kabupaten Ciamis.

F. Kegunaan Penelitian
1. Dalam kajian penelitian dapat bermanfaat dibidang keilmuan yaitu ilmu manajemen sumber daya manusia. Kajian ini merupakan sumbangan pada materi gaya kepemimpinan, motivasi kerja guru dan kinerja guru tentang ada tidaknya pengaruh diantara ketiga variable tersebut.
2. Dalam kajian penelitian ini diharapkan dapat menemukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja guru. Selanjutnya kajian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan (urun rembug) kepada dunia pendidikan dalam kerangka meningkatkan mutu dan profesionalitas guru.
3. Jika hasil penelitian ini ternyata terbukti dengan pembuktian secara empirik dimana ada pengaruh yang positif antara gaya kepemimpinan dengan kinerja guru, dan pengaruh motivasi kerja dengan kinerja guru, serta secara bersama-sama terdapat pengaruh positif antara gaya kepemimpinan dan motivasi kerja guru dengan kinerja guru, maka hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Ciamis dan Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis dalam merancang program yang berkaitan dengan peningkatan kinerja guru.
4. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada sekolah-sekolah khususnya SMA diutamakan bagi pimpinan (Kepala Sekolah) sebagai bahan evaluasi kinerjanya, dan masukan bagi guru-guru sebagai bahan untuk mengevaluasi kinerjanya baik sebagai individu maupun sebagai kelompok sehingga secara bersama-sama dapat merencanakan langkah yang konkrit untuk meningkatkan kinerjanya di masa-masa selanjutnya. Adanya hasil penelitian dimana gaya kepemimpinan dan motivasi kerja guru secara bersama-sama dengan kinerja guru, maka upaya untuk meningkatkan kinerja dapat dilakukan dengan memperbaiki gaya kepemimpinan dan meningkatkan motivasi kerja guru.
5. Hasil penelitian ini juga diharapkan berguna bagi ‘Stakeholder’ yaitu pihak dunia industri/dunia kerja sebagai partner SMA dalam program ‘Pendidikan Sistem Ganda’, serta ‘Masyarakat’ sebagai pelanggan dan pengguna Sekolah, sebagai masukan mereka untuk merancang program-program yang berkaitan dengan kinerja yang baik, semangat kerja, maupun produktivitas dan kualitas guru. Sebab dalam rangka pendidikan berbasis masyarakat yang dicanangkan oleh pemerintah keikut sertaan Stakeholder dalam ikut memikirkan pendidikan yang bermutu sangat diharapkan.

Pelayan Public

Sebagai pembuka wacana, saya ingin mengemukakan argumen mengapa reformasi pelayanan publik (public service reform) menjadi tema pidato pengukuhan ini. Pertama, bahwa masyarakat di segala penjuru dunia (di Negara Industri dan di Dunia Ketiga) sedang mengalami perubahan besar-besaran akibat proses globalisasi atau internasionalisasi di bidang politik, ekonomi dan teknologi (lihat Featherstone, 1990). Dampak perubahan itu pada sektor penelitian sungguh dramatis. Sejak pertengahan dasa warsa 1970-an (dan menurut para pakar agaknya akan terus berlangsung di abad 21) sebenamya telah terjadi apa yang disebut "krisis kemampuan memerintah" (governability crisis) dari pemerintahan di berbagai belahan dunia. Sejak saat itu, persoalan ini oleh para teoritisi telah diangkat sebagai sebuah agenda intemasional penting yang perlu mendapatkan solusi. Dalam pemahaman teori Governance teori yang mencoba menjelaskan secara makro proses-proses perubahan dalam kepemerintahan, krisis ini disebabkan oleh masih kuatnya hegemoni negara, ditandai oleh dominannya pengaruh negara atas segala aspek kehidupan, termasuk urusan pelayanan publik (yang dari waktu ke waktu semakin kompleks). Akibatnya, negara terjebak dalam situasi dilematis, menjadi terlalu besar untuk urusan-urusan kecil, menjadi terlalu kecil untuk urusan-urusan yang besar.

RINGKASAN
TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

Oleh : M. Sururi

A. Pengertian

Administrasi publik terdiri dari dua kata, yaitu administrasi dan publik. Administrasi diartikan sebagai kegiatan atau kerjasama dalam rangka mencapai tujuan yang sudah ditentukan atau diarahkan. Definis lainnya yang dapat diajukan adalah kegiatam implementasi kebijakan.
Sedangkan publik dapat diartikan sebagai negara, klien, konsumen, warga masyarakat, dan kelompok kepentingan. Tetapi dalam wacana di Indonesia lebih berkembang administrasi publik disamakan dengan administrasi negara.
Dari pengertian dua kata tersebut, maka administrasi publik dapat diartikan sebagai sebuah proses menjalankan keputusan/kebijakan untuk kepentingan negara, warga masyarakat. Terdapat pengertian yang singkat, administrasi publik merupakan metode pemerintahan negara (proses politik) administration of publik, for public dan by public. Dengan demikian administrasi publik merupakan proses pemerintahan publik, untuk publik dan oleh publik.

B. Paradigma dalam Administrasi Publik

Paradigma adalah teori dasar atau cara pandang yang fundamental, dilandasi nilai-nilai tertentu, dan berisikan teori pokok, konsep, metodologi atau cara pendekatan yang dapat dipergunakan para teoritisi dan praktisi dalam menanggapi sesuatu permasalahan baik dalam pengembangan ilmu maupun kemajuan hidup. Dalam ilmu administrasi publik terdapat beberapa paradigma antara lain:
1. Paradigma dikotomi politik dan administrasi negara. Fokusnya terbatas pada maslah-masalh organisasi dan penyusunan anggaran dalam birokrasi pemerintahan, politik dan kebijakan merupakan substansi ilmu politik. Tokoh-tokohnya Frank J Goodnow dan Leonard D. White.
2. Paradigma Prinsip-prinsip administrasi. Locusnya kurang dipentingkan. Fikusnya adalah “prinsip-prinsip” manajerial yang dipandang berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan lingkungan budaya. Tokohnya adalah Gulick dan Urwick, F.W. Taylor, Henry Fayol, Mary Parker Follet, dan Willooghby.
3. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik. Administrasi negara kembali menjadi bagian dari ilmu politik. Pelaksanaan prinsip-prinsip administrasi sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor lingkunga, jadi tidak “value free” (bebas nilai). Tokoh pardigma ini adalah Nicholas Henry.
4. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi. Administrasi tetap menggunakan prinsip administrasi yang dipengaruhi berbagai faktor, oleh karena itu dalam paradigma ini mengembangkan adanya pemahaman sosial psikologi, dan analisis sistem untuk melengkapi. Tokoh paradigma ini adalah Henderson, Thompson, Caldwen.

C. Teori dalam Administrasi Publik

Teori adalah rangkaian ide mengenai bagaimana dua variabel atau lebih berhubungan. Terdapat beberapa kelompok teori dalam administrasi negara, antara lain:
1) Teori deskriptif eksplanatif, merupakan teori yang bersifat memberi penjelasan secara abstrak realitas administrasi negara. Misalnya teori yang menjelaskan tentang ketidakmampuan administratif.
2) Teori normatif, yaitu teori yang bertujuan menjelaskan situasi masa mendatang, idealnya dari suatu kondisi. Misalnya teori tentang kepemimpinan ideal masa depan.
3) Toeri Asumtif, yaitu terori-teori yang menekankan pada prakondisi, anggapan adanya suatu realitas sosial dibalik teori atau proposisi. Misalnya Teori X dan Y dari McGregor yang menyakan manusia mempunyai kemampuan baik (Y) dan kurang baik (X)
4) Teori Instrumental, yaitu teori-teori yang memfokuskan pada “bagaimana dan kapan”, lebih pada penerapan atau aplikasi dari teori. Misalnya teori tentang kebijakan, bagaimana kebijakan dijalankan dan kapan waktunya.

D. Isu-Isu Penting

Ada beberapa isu atau permasalan penting yang sering dibahas dalam ilmu administrasi negara antara lain :
1) Pelayanan publik
Administrasi publik sebagai proses administrasi for publik, pada hakekatnya adalah memberi pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan demokrasi yang mana masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menerima pelayanan dari pemerintah. Dalam masalah ini yang terpenting adalah bagaimana pemerintah/negara memberikan pelayanan yang baik, cepat dan berkualitas kepada seluruh warga masyarakat.
2) Motivasi Pelayanan Publik
Dalam masalah ini isu terpenting adalah membahas motivasi seperti apa yang dimiliki oleh administrator dalam memberikan pelayanan publik. Ada yang berdasarkan norma, rasional dan perasaan.
3) Maladministrasi
Maladministrasi merupakan kesalahan dalam praktekt administrasi. Pembahasan teori administrasi publik juga akan membahas masalah kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kajian utama, seperti lambannya birokrasi, rutinitas dan formalitas pelayanan.
4) Etika Administrasi Publik
Masalah penting lainnya dalam administrasi publik adalah etika administrasi. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah nilai baik dan buruk. Apakah pelayanan atau prosedur administrasi publik dinilai baik atau buruk oleh masyarakat. Dalam hal ini termasuk korupsi menjadi bahasan utama.
5) Kinerja dan Efektivitas
Seringkali masalah kinerja dan efektivitas menjadi isu sentral dari administrasi publik. Hal tersebut dipahami karena administrasi sebagai proses mencapai tujuan, maka persoalan pencapaian dan dan cara mencapai tersebut menjadi penting. Oleh karena itu bagaimana cara kerja (kinerja) yang dijalankan apakah sudah baik sehingga tujuan dapat tercapai (efektif).
6) Akuntabilitas Publik
Administrasi publik yang dijalankan oleh pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga. Ada kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dapat dikontrol, diawasi dan dipertanggungjawabkan kepada warga/publik. Hal tersebut merupakan masalah pokoknya.

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI DESA PERSIAPAN SALOHE KECAMATAN SINJAI TIMUR KABUPATEN SINJAI

HERIANTO HASRA. 2007. Efektivitas Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Di Desa Persiapan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai. Skripsi Jurusan Ilmu Administrasi Negara pada Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Muhammadiyah Sinjai.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keefektivitasan pelaksanaan pemungutan Pajak bumi dan Bangunan di Desa Perisiapan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.
Populasi penelitian ini selauruh wajib pajak yang ada di Desa Salohe yang berjumlah 328 orang, mengingat jumlah populasi terlalu banyak maka
dilakukan penarikan sampel secara acak atau random sampling sebanyak 50 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi, angket, wawancara
sebagai metode pelengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keefektifan pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan dikategorikan cukup efektif. Hal tersebut didukung oleh beberapa faktor pendukung: faktor aparat/kolektor, faktor kepemimpinan, faktor koordinasi dan kerjasama, faktor pengawasan, faktor kesadaran wajib pajak. Adapun faktor penghambat yaitu: faktor sarana dan prasarana, faktor domisili atau tempat ringgal wajib pajak, dan faktor sosial ekonomi.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut pentingnya pengelolaan pajak tersebut menjadi prioritas bagi pemerintah. Ada berbagai jenis pajak yang dikenakan kepada masyarakat, namun dari beberapa diantaranya Pajak Bumi dan Bangunan merupakan jenis-jenis pajak sangat potensil dan strategis sebagai sumber penghasilan Negara dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Salah satu aspek penunjang dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan nasional selain dari aspek sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya lainnya adalah ketersediaan dana pembangunan baik yang diperoleh dari sumber-sumber pajak maupun non pajak. Penghasilan dari sumber pajak meliputi berbagai sektor perpajakan antara lain diperoleh dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu faktor pemasukan bagi Negara yang cukup potensil dan kontribusi terhadap pendapatan negara jika dibandingkan dengan sektor pajak lainnya sangat besar. Strategisnya Pajak Bumi dan Bangunan tersebut tidak lain karena objeknya meliputi seluruh bumi dan bangunan yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pentingnya pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan telah ditetapkan dalam berbagai produk perundang-undangan pemerintah, dalam neraca APBN misalnya telah ditentukan penerimaan Negara bersumber dari penerimaan dalam negara dan penerimaan pembangunan. Penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan minyak bumi dan gas alam, selain dari itu adalah penerimaan migas dan penerimaan yang berasal dari pajak.
Penerimaan negara yang berasal dari pajak sebagaimana telah ditetapkan oleh undang-undang sudah menjadi kewajiban bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pentingnya pajak tersebut terutama untuk pembiayaan pembangunan, hal ini tidak lain karena warga negara sebagai manusia biasa selain mempunyai kebutuhan sehari-hari berupa sandang dan pangan, juga membutuhkan sarana dan prasarana, seperti jalan untuk transportasi, taman untuk hiburan atau rekreasi, bahkan keinginan merasakan aman dan terlindung. Sarana dan prasarana berupa fasilitas umum tersebut untuk ketersediaannya hanya pemerintahlah yang bertanggung jawab untuk memenuhinya (Kunarjo, 1993:125).
Penyediaan kebutuhan seperti jalan, taman, sarana pelayanan umum lainnya memerlukan biaya yang dipungut dari warga negara/ masyarakat yang memanfaatkan dalam bentuk pajak. Pajak mempunyai fungsi antara lain untuk:
1. Penerimaan negara dalam rangka membiayai pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah;
2. Pemerataan pendapatan masyarakat;
3. Stabilitas ekonomi (misalnya pengendalian inflasi) dan pertumbuhan ekonomi.
Pajak sebagai penerimaan Negara tampaknya sudah jelas bahwa apabila pajak ditingkatkan maka penerimaan Negara pun meningkat, sehingga Negara dapat berbuat lebih banyak untuk kepentingan masyarakat. Sebagai pemerataan pendapatan masyarakat, kenyataan menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat masih banyak terdapat kesenjangan antara warga negara yang kaya dan yang miskin. Pajak adalah salah satu alat untuk dapat meredistribusi pendapata dengan cara memungut pajak yang lebih besar bagi warga yang berpendapatan tinggi dan memungut pajak yang lebih rendah bagi warga yang berpendapatan kecil.
Sehubungan dengan hal ini cara memunut pajak sebagaimana dikemukakan Kunarjo (1993:126) dapat dibagi tiga yaitu: (1) Progresif, yaitu memungut pajak dengan presentase dengan meningkat sesuai dengan cakupan penerimaan yang makin meningkat. Dengan demikian secara relatif maupun absolut kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi dibebani dengan pajak yang lebih besar, (2) Degresif, yaitu pemungutan pajak dengan presentase yang maik menurun pada cakupan masyarakat yang pendapatannya makin meningkat. Pada kategori ini, walaupun berpendapatan tinggi, mereka dibebani pajak relatif lebih kecil tetapi secara absolut jumlahnya lebih besar, (3) Proporsional, yaitu membagi pajak dengan persentasi yang sama pada setiap tingkat pendapaatan. Ini berarti bahwa secara relatif seluruh masyarakat wajib pajak dibebani dengan persentase sama tetapi secara absolut kelompok berpendapatan tinggi dibebani pajak yang lebih besar.
Jenis pajak yang diperhitungkan pada sisis penerimaan dalam APBN antara lain pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, bea masuk, cukai, ekspor, pajak bumi dan bangunan, pajak lainnya dan penerimaan bukan pajak. Khususnya untuk pajak bumi dan bangunan sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah. Objek yang dikenakan pada pajak bumi dan bangunan ini adalah nilai jual objek pajak bumi dan bangunan. Pungutan yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan pembagian sebagaimana diatur oleh undang-undang yaitu bagi pemerintah kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat.
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan, sehingga hal ini tidak jauh berbeda dengan Ipeda. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah, perairan, pendalaman serta laut wilayah Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan-perairan. Disamping itu yang disebut subjek pajak bumi dan bangunan adalah badan yang secara nyata: (1) Mempunyai suatu hak atas bumi dan atau mempunyai manfaat atas bumi; (2) Memiliki, menguasai dan akan memperoleh mafaat atas bangunan.
Berkaitan dengan penerimaan pajak bumi dan bangunan yang diperoleh oleh daerah, sebagaimana banyak terlihat masih banyka kekuranga-kekurangan yang ada di dalamnya terutam amasih rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan yang menjadi kewajibannya. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah sering melakukan suatu teknik pemberian motivasi pada pemerintah bawahannya seperti camat, kepala lurah dan desa dengan memberikan penghargaan bagi mereka yang berhasil memenuhi target pencapaian pajak bumi dan bangunan dalam tahun pajak berjalan. Namun berkaitan dengan hal tersebut, banyak kejanggalan yang ditemukan di lapangan dan sudah menjadi rahasian umum seringkali kepala desa/lurah melunasi sendiri pajak bumi dan bangunan dari uang pribadi atau kas desa untuk menutupi kekurangan pembayaran pajak bumi dan bangunan sebelum masa akhir pembayaran pajak.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa masih rendah partisipasi masyarakat dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan. Sejalan dengan gejala-gejala tersebut, hal demikian ditemukan di Desa Persiapan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai. Dari observasi awal yang dilakukan ditemukan bahwa pembayaran pajak bumi dan bangunan 3 tahun terakhir mencapai target, dan seringkali untuk menutupi kekurangan tersebut kepala desa menggunakan uang pribadinya untuk membayar pajak bumi dan bangunan sambil menunggu pembayaran dari masyarakat.
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain seperti kurang pahamnya masyarakat terhadap arti dari pada pajak bumi dan bangunan dalam pembiayaan pembangunan, kurangnya bukti nyata dari pajak yang dibayarkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kurang giatnya aparat dalam melakukan penagihan dan sikap apatis dari masyarakat itu sendiri dalam membayar pajak, selain dari itu kadang kala wajib pajak sulit dijangkau karena tidak lagi berdomisili di Desa Pesiapan Salohe.
Berdasarkan pada fenomena berkaitan pajak bumi dan bangunan tesebut,menurut M.Arifin (2000:9) kurang optimalnya penerimaan disebabkan oleh banyak faktor antara lain (1) Kemampuan sumber daya manusia; (2) Sarana dan prasarana; (3) Kepemimpinan; (4) Koordinasi dan pengawasan; (5) Kondisi tempat tinggal; (6) Kondisi sosial ekonomi. Berkaitan dengan fenomena di atas, maka menarik dilakukan pengkajian tentang “Efektivitas Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Desa Persiapan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai”.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas dan untuk membatasi ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan pemungutan pajak bumi dan bangunan di Desa Persiapan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan pemungutan pajak bumi dan bangunan di Desa Persiapan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan pemungutan pajak bumi dan bangunan di Desa Persiapan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan pemungutan pajak bumi dan bangunan di Desa Persiapan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.
b. Kegunaan Penelitian
1. Diaharapkan dapat memebrikan input kepada pimpinan atau pejabat instansi yang terkait terutama dalam mengoptimalkan penerimaan pajak bumi dan bangunan.
2. Memperkaya khasanah ilmu administrasi secara umum dan adminitrasi perpajakan secara khusus.
3. Dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat terhadap masalah perpajakan.

D. Kerangka Pikir
Masalah yang sangat penting dari suatu daerah pada daerah otonomi sekarang ini adalah bagaimana daerah mengoptimalkan penggalian sumber-sumber keuangan yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun pelaksanaan pembangunan di daerah. Salah satu sumber pendapatan yang dapat digali oleh pemerintah daerah adalah pajak bumi dan bangunan, sekaligus status pajak bumi dan bangunan bukan pajak daerah namun kontribusi terhadap pendapatan daerah tidak sedikit melalui sistem bagi hasil pajak ini.
Upaya peningkatan penghasilan negara dari pajak bumi dan bangunan ini adalan mendorong partisipasi masyarakat untuk membangkitkan kesadaran mereka dalam melakukan pembayaran secara tetapt waktu. Partisipasi pada dasarnya merupakan bentuk keikutsertaan orang atau kelompok masyarakat terhadap satu kegiatan yan didasarkan kepada suatu kesadaran akan hasil yang diperolehnya.
Sehubungan dengan hal tersebut pimpinan instansi terdepan dalam melakukan pemungutan pajak bumi dan bangunan adalah kepala desa dan kepala lurah. Berkaitan dengan pengelolaan tersebut, ada beberapa indikator yang perlu mendapat perhatian yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
Aspek perencanaan dalam hal ini petugas perlu melihat waktu yang tepat dalam melakukan penagihan pada masyarakat bagi masyarakat pada umumnya yang menggantungkan hidup di sektor pertanian, maka momen yang tepat melakukan penagihan adalah pada saat mereka telah panen atau hasil prosduksi pertaniannya telah terjual. Sementara dari aspek pelaksanaan dalam hal ini aparat perlu melakukan pendekatan persuasif, memberikan pengertian kepada masyarakat mengenani pentingnya pajak tersebut dibayarkan, dan yang terakhir adalah pengawasan dalam hal ini perlu dilakukan pengawasan terhadap petugas. Yang memungut maupun masyarakat. Dalam hal ini perlu diperhatikan adalah tertib administrasi dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan tersebut.
Sejalan dengan konsep tersebut di atas kerangka pikir mengenani pengelolaan penerimaan pajak bumi dan bangunan dapat dilihat dalam bagan berikut.

E. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Desa Persiapan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.
2. Tipe dan Dasar Penelitian
Tipe penelitian adalah deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai fakta-fakta di lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian sedangkan dasar penelitiannya adalah survei yakni penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data secara langsung di lapangan (field research).
3. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari atas subjek/objek yang mempunyai kwalitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik suatu kesimpulan. Sugiono (2003:90). Jadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wajib pajak yang berdomisili di Desa Persipan Salohe Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai yang berjumlah 328 orang.
2. Sampel
Untuk menentukan sampel digunakan teknik sratifield random sampling, penentuan sampel dilakukan dengan cara mula-mula mengelompokkan populasi dimana sampel yang diambil menurut strata klasifikasi golongan masyarakat dan selanjutnya masing-masing kelompok tersebut diambil secara random atau acak dari populasi, Sugiono (2003:93).
Berdasarkan perhitungan tersebut maka jumlah sampel yang diperoleh 50 orang adapun distribusi sampel dari masing-masing kelompok populasi adalah sebagai berikut:
- PNS sebanyak 10 orang dari 28 jumlah wajib pajak
- Petani sebanyak 35 orang dari 290 jumlah wajib pajak
- Wiraswasta 5 orang dari 10 jumlah wajib pajak
Selain data yang diperoleh dari sampel di atas melengkapi data penelitian juga memperoleh informasi dari masyarakat luar atau unsur pemerintah yang mengetahui masalah yang dibahas.
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kwalitatif dan kwantitatif yang diperoleh dari:
a. Data primer adalah kumpulan data dari pengamatan langsung dari lokasi penelitian.
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi yang mengenai pengolahan pajak bumi dan bangunan.
5. Pengumpulan Data
a. Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan pengamatan khususnya dalam pengelolaan pajak bumi dan bangunan.
b. Kuisioner adalah teknik pengumpulan data dengan memberikan daftar pertanyaan yang akan dijawab atau diisi sendiri oleh responden.

6. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan tipe penelitian ini, maka data yang telah dikumpulkan dianalisisn dengan menggunakan teknik analisis deskriptif yakni mendeskripsikan karakteristik variabel penelitian dengan menggunakan tabel frekuensi yakni memberikan penelitian kepada setiap pendapat responden dengan tingkat persentase.
Menurut Arikunto untuk mendapatkan hasil persentase digunakan rumus sebagai berikut:

Dimana:
% = Persentase
n = Jumlah skor yang diperoleh
N = Total